Jeng-Jeng Ujung Genteng

Tim Ujung Genteng

Akhirnya kesampaian juga saya ke Ujung Genteng, sebuah pantai di ujung sebelah barat daya pulau Jawa yang cukup terpencil. Bisa dibilang ini jeng-jeng akhir tahun saya yang sangat mengesankan! \:d/

Di Ujung Genteng, saya mendapatkan pengalaman baru selain menikmati hamparan pantai yang cukup sepi, yaitu melihat secara langsung penyu hijau (Chelonia mydas) bertelur hingga menikmati segarnya air laut selatan yang jernih.

Kami berangkat selepas jam kerja pada malam Natal. Tim awal yang tadinya hanya saya, Fame, Nila, dan Suprie, akhirnya ketambahan Tupic yang bergabung pada menit-menit terakhir setelah mendapat bujukan setan Fame.

Setelah berkumpul di UKI, kami segera berangkat dengan menggunakan bus jurusan Sukabumi. Cukup lama kami menunggu karena bus jurusan ini kalah banyak daripada bus jurusan Bogor. Bus yang kami tunggu akhirnya nongol, meski di dalamnya sudah penuh sesak, kami naik juga.

“Terakhir.. Terakhir..”, teriak kondektur bus yang seolah memaksa kami untuk bergegas. Sedikit melirik ke jam tangan, jarum jam telah menunjuk angka 9. Kemacetan yang parah sangat menghambat perjalanan kami sehingga waktu perjalanan kami molor.

Kami terpaksa berdiri berjejal. Kami mulai mendapat tempat duduk setelah sebagian penumpang turun di Ciawi dan sekitarnya. Bus pun mulai menanjak dan meliut ke sana kemari digoyang tikungan berkelok. Beberapa penumpang tenggelam dalam lelap menikmati goyangan bus. Laju bus semakin kencang karena jalan mulai lengang.

Seorang bapak berbincang dengan Fame. Samar-samar terdengar mereka berbincang tentang rute ke Ujung Genteng dari Sukabumi. Si bapak memberitahukan rute dan moda transportasinya. Tak hanya itu, dia bahkan sempat menawari kami untuk menginap di rumahnya, namun kami menolak dengan halus.

Kami pun tiba di Sukabumi setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih 2, 5 jam. Menurut informasi yang simpang siur, baik dari bapak-bapak yang berbincang dengan Fame tadi maupun kondektur bus, moda transportasi kami antara ada dan tiada. Bisa dimaklumi karena kami tiba di Sukabumi kota hampir tengah malam. Kami memang buta rute dan berangkat hanya bermodal nekat.

Kami memutuskan untuk beristirahat sejenak untuk mengisi perut sambil memikirkan langkah selanjutnya. Kami mampir di warung Soto Lamongan. Cukup lucu karena kami jauh-jauh ke Sukabumi, tapi malah makan Soto Lamongan. :))

Keterangan ibu penjual soto sempat menyurutkan semangat kami. Menurutnya sudah tiada transportasi yang bisa membawa kami ke sana, namun kami tetap meneruskan perjalanan. Nanggung, lagian kami mau menginap di mana?

Menuju ke sebuah ELF yang sedang berhenti, kami bertanya bagaimana kami bisa melanjutkan perjalanan. Kami disarankan menggunakan ojeg untuk menuju Terminal Lembur Situ karena angkot sudah tidak beroperasi. Kami akhirnya terpaksa menyewa 5 ojeg karena memang kami tiada pilihan lain. Apalagi jam menunjukkan hampir pergantian hari.

Terminal Lembur Situ

Tibalah kami di Terminal Lembur Situ. Kami beruntung karena masih ada sebuah ELF jurusan Surade yang sedang ngetem. ELF tersebut memang sedang bekerja di luar jam operasional, yaitu hanya sampai jam 7 malam. Namun karena liburan panjang mereka menambah jam operasional dan sepertinya menjadi satu-satunya ELF yang terakhir beroperasi malam itu.

ELF yang kami tumpangi lama-lama penuh, karena selain kami ternyata banyak penumpang yang dilihat dari penampilannya adalah mereka yang hendak pulang dari bekerja. Di antara mereka bahkan ada seorang wanita. Beberapa pria sampai rela bergelantungan di pintu ELF karena tiada tempat lagi.

Perjalanan dari Lembur Situ ke Surade, sebuah kota kecamatan yang paling dekat ke Ujung Genteng, “sangat seru” karena sepanjang jalan kami terguncang-guncang bahkan sesekali terlempar dari tempat duduk akibat ELF melahap jalanan bergelombang meliuk dengan kecepatan tinggi.

Kami yang sudah terkantuk-kantuk urung terbuai mimpi. Badan seperti dilempar ke sana kemari. Sungguh tidak nyaman tidur dalam kondisi demikian. Melihat keluar pun gelap sia-sia karena tiada yang bisa dilihat. Sekilas dari kaca depan, saya membayangkan medan yang dilewati berupa jalan kampung yang membelah perbukitan dan hutan yang menghubungkan peradaban antar desa.

Tidur dengan terguncang-guncang sungguh tidak menyenangkan, kawan! Bayangkan, selama sekitar 5 jam kami harus tidur sepotong-potong. Mimpi yang kami sulam seakan tercabik-cabik akibat kepala terantuk kursi atau tubuh terguncang dengan hebat. Berbagai posisi tidur pun kami coba. Hasilnya? Sama saja! Bahkan teman di samping yang dengan semena-mena dijadikan sandaran pun tak membuat keadaan lebih baik. Leher pegel, punggung capek, justru itu yang didapat!

Penderitaan kami akhirnya usai setelah kami tiba di Surade. Kami tiba lebih cepat satu jam dari estimasi waktu tempuh. Kami singgah di sebuah masjid untuk sekedar meluruskan otot yang tegang dan badan yang shock karena guncangan sembari menunggu Shubuh datang. Kami lebih memilih mengganti waktu tidur yang hilang selama perjalanan ke Surade dengan tidur di masjid. Maksud hati mengejar sunrise terpaksa kami tunda, meskipun Ujung Genteng sudah dekat, sekitar 22 km ke selatan!

Melepas lelah di masjid di Surade

Yang menyebalkan, kami ditawari ojeg carteran begitu kami turun dari ELF. Kondisi yang tiada moda transportasi lain inilah yang membuat kami menjadi sasaran empuk. Cara mereka yang sedikit memaksa dan rese ini lah yang sangat menyebalkan.

Namun akhirnya kami harus berterima kasih kepada seorang bapak sopir angkot yang dengan setia dan gigih telah menunggui kami, yang dengan angkuhnya kami justru nyuekin bapak angkot tersebut. Bayangkan saja, selama 4 jam lebih kami ditunggui oleh dia. Bahkan sepertinya si bapak ini yang lebih antusias mengajak kami untuk segera ke Ujung Genteng. Makasih sekali bapak angkot, atas kebaikan Anda! ;))

Hujan rintik-rintik mengawali perjalanan kami dari Surade ke Ujung Genteng. Sepanjang perjalanan Surade-Ujung Genteng, kami disuguhi pemandangan hijaunya sawah yang sesekali diselingi deretan pohon kelapa yang terjajar rapi. Di kejauhan, nampak horison samudra yang membuat kantuk yang masih menggelayut di mata sirna. Bau tanah dan dedaunan yang basah akiba hujan tadi pagi semakin menyegarkan kami.

Setelah menempuh perjalanan selama sekitar 1 jam, kami pun tiba di pelabuhan nelayan sekaligus terminal akhir angkot Ujung Genteng. Berbagai perahu tradisional berserakan seolah menyambut kedatangan kami. Warna-warni lambung kapal, nama-nama yang tertulis, hingga bendera yang berkibar mulai dari kain biasa hingga bendera parpol menjadi pemandangan yang khas. Pantai ini sekilas mengingatkan saya akan pantai Drini di Jogja.

Kumpulan perahu di Ujung Genteng

Secara administratif, Ujung Genteng berada di Desa Gunung Batu, Kecamatan Ciracap, Kabupaten Sukabumi. Beberapa lokasi di pantai ini merupakan lahan latihan TNI AU. Disebut Ujung Genteng karena letaknya berada di ujung dan “genteng” alias buntu. Bila melihat ke peta, lokasi ini memang nyempil dan berada di salah satu ujung pulau Jawa.

Peta Ujung Genteng

Saya menduga daerah di sini cukup miskin. Hal ini tercermin dari suasana, bentuk-bentuk rumah, dan gaya pakaian penduduk sekitarnya. Sayang sekali daerah ini kurang mendapat perhatian dari pemda untuk menjadikannya obyek wisata unggulan yang ujung-ujungnya akan meningkatkan taraf hidup masyarakat sekitar.

Jalan berpasir dengan kubangan air menganga, rumah-rumah panggung dari kayu yang kusam, semakin menampakkan kondisi yang memprihatinkan. Beberapa ekor sapi tampak dibiarkan menggelandang di lahan berumput. Beberapa di antaranya memang diikat, namun lebih banyak yang dilepas begitu saja.

Jalan dengan lubang air

Saya sempat terkejut ketika melihat sekor celeng dengan pita merah di lehernya melintas. Entah itu memang peliharaan alternatif warga di sini atau memang ada orang yang semalam mematikan lilin sehingga si celeng tidak dapat kembali ke wujud aslinya? :))

Seekor celeng di Ujung Genteng

Kami lantas bergegas berjalan kaki menyusuri jalan setapak di tepi pantai mengarah ke utara menuju ke Pondok Adi, penginapan yang sudah kami pesan jauh-jauh hari untuk mengantisipasi kehabisan kamar. Jalanan setapak berpasir yang di tengah-tengahnya ada lubang berisi air menganga juga menjadi pemandangan yang kami temukan selain hamparan laut dan tumbuhan khas pantai yang menemani kami selama berjalan menuju pondokan. Sesekali kami berhenti untuk sekedar mencelupkan kaki ke air.

Berjalan di tepi pantai

Pantai di sepanjang Ujung Genteng ini cukup unik. Sepanjang garis pantai terdapat barisan karang selebar kurang lebih 500 meter yang berfungsi untuk memecah ombak. Ombak-ombak laut selatan yang terkenal besar langsung dibikin tak berkutik di sini sehingga pantai ini aman untuk digunakan mandi-mandi. Karakter pantai yang hampir sama dengan pantai-pantai di Gunung Kidul, Jogja, namun di pantai ini bisa digunakan untuk mandi-mandi, sedangkan yang di Jogja tidak bisa karena dangkal.

Pantai Ujung Genteng

Kami tiba di pondokan. Namun karena penghuni cottage kami sebelumnya belum check-out, kami menunggu check-in dengan berjalan-jalan dulu di pantai ini. Cottage kami memang cukup unik. Dengan bangunan berbentuk rumah panggung, dari balkon kita bisa langsung melihat ke pantai. Seolah-olah jarak pantai ke pondokan itu cuma sak uncalan cawet! :))

Pondok Adi, pemondokan kami

Halaman pondokan ditumbuhi pohon-pohon kelapa. Saya melihat seorang bapak beberapa kali memanjat pohon kelapa ini untuk mengambil air dari kembang kelapa yang untuk kemudian diolah menjadi gula kelapa. Dengan cekatan bapak ini memanjat dengan sebuah wadah yang tergantung di pingganggnya. Gula kelapa memang menjadi salah satu komoditas warga selain ikan tentunya.

Pemanjat kelapa

Sekilas memang ngeri bila membayangkan tsunami karena letak pondokan yang “sak uncalan cawet” tadi. Namun menurut keterangan pemiliknya, air laut tidak pernah sampai ke halaman pondokan, kecuali ketika terjadi tsunami yang melanda Pangandaran beberapa waktu yang lalu.

Pondok Adi memang tidak menyediakan makanan secara default, namun di depan pemondokan terdapat sebuah tempat yang memang dikhususkan untuk acara bakar-bakar ikan. Kita bisa berbelanja ikan di pasar yang tentunya masih segar dan berharga murah, untuk kemudian dibakar di sini.

Namun sayang sekali, mendung yang sudah menggelayut akhirnya menumpahkan airnya. Rencana kami untuk berjalan-jalan menyusuri pantai dan melihat sunset pun sirna. Kebetulan laut di depan kami berada di sebelah barat, tentunya akan sangat mantab sekali bila melihat sang surya mulai menenggelamkan dirinya.

Hujan yang turun cukup deras membuat kami hanya bisa bermalas-malasan di pemondokan. Rencana kami untuk melihat penyu bertelur pun hampir gagal karena hujan tak kunjung berhenti. Untung saja, hujan yang ditumpahkan sejak sore membuat malam menjadi terang, sehingga kami bisa menuju ke Pantai Pangumbahan untuk melihat penyu bertelur!

Dengan menyewa ojek seharga 50 ribu rupiah untuk pulang pergi, kami pun berangkat menuju Pangumbahan yang berjarak sekitar 5 km dari pondokan kami. Rute ke sana pun tak main-main. Jalanan berlumpur, menerobos hutan, menyeberangi muara sungai, meniti jembatan kayu, membuat medan ini sangat sulit untuk ditempuh menggunakan mobil. Motor biasa pun saya rasa akan kesulitan, sehingga lebih baik menggunakan ojeg saja. Selain si pengemudi ojeg sudah hafal jalan dan medan, kondisi motor mereka pun memang sudah dimodifikasi sedemikian rupa sehingga memudahkan untuk melahap medan tersebut.

Di tengah perjalanan, kami melewati Batu Nunggul, salah satu spot berselancar yang menjadi favorit para bule. Di sini pantainya mempunyai karakter yang berbeda dengan pantai di Ujung Genteng. Ombak besar dengan sudut pantai yang cukup curam membuat ombk menjadi lebih besar dan mudah untuk ditunggangi. Yang terkenal dari tempat ini adalah adanya Ombak Tujuh, yaitu 7 buah ombak besar yang datang secara berurutan.

Di Penangkaran Penyu, Pantai Pangumbahan

Tiba di Pangumbahan, kami segera bersiap. Penjaga berkali-kali mengingatkan kami untuk tidak membuat gaduh dan menyalakan senter karena cahaya dan kegaduhan akan membuat penyu enggan bertelur. Namun ketika si penyu sedang dalam proses bertelur atau usai bertelur, pengunjung dipersilakan untuk mendekat dan bahkan berfoto.

Dari sekian jenis penyu, Penyu Hijau (Chelonia mydas) lah yang paling banyak datang ke Pangumbahan. Kami begitu takjub melihat penyu yang ukurannya lebih besar dari bayangan kami. Seekor penyu bahkan bisa mencapai berat 80 kg!

Penyu Hijau!

Setiap malam selalu ada saja penyu yang datang. Bulan Desember adalah bulan di mana penyu yang datang bertelur lebih banyak. Pasir di pantai ini memang halus dan hangat, sehingga ndak heran kalo penyu suka bertelur di sini.

Penyu dalam waktu sekitar 15 menit bisa bertelur hingga ratusan buah. Telurnya berwarna putih dan berukuran sebesar bola pingpong. Bila dipegang agak empuk-empuk namun kulitnya sangat kuat. Selama kurang lebih 40 hari, telur-telur penyu ini akan menetas dan melahirkan tukik. Tukik-tukik ini kemudian menuju ke lautan lepas untuk melanjutkan kehidupan.

Telur Penyu

Saya jadi berpikir, dari sekian banyak tukik, berapa persen kah yang akan selamat dan tumbuh menjadi penyu dewasa? Karena para tukik ini harus menghadapi berbagai predator dan pemangsa. Belum lagi ada yang tega menjual telur-telur penyu ini untuk dikonsumsi! Jahat! [-(

Karena itu lah lembaga penangkaran penyu di Pangumbahan langsung memindahkan telur-telur penyu ini. Seorang petugas akan segera mengambil semua telur begitu dikeluarkan dan memindahkannya ke dalam sebuah ember. Setelah selesai, si penyu akan menutup lubang tempat telur tadi dia keluarkan dengan tungkai belakangnya meskipun lubang itu sudah tidak berisi telur lagi.

Setelah melihat 3 ekor penyu, kami pun memutuskan untuk pulang ke pemondokan. Bila hendak melihat pelepasan tukik-tukik ini ke laut, silakan datang pagi-pagi. Namun mengingat biaya transportasi untuk ke sini yang mahal, kami pun tidak berencana melihat pelepasan tukik-tukik ini meskipun sebenernya kepengen banget.

Sekitar tengah malam, terdengar suara gemuruh yang cukup menakutkan. Angin dingin menerobos dinding pemondokan kami yang memang terbuat dari anyaman bambu. melihat ke luar jendela semakin membuat saya bergidik ngeri. Rupanya suara bergemuruh itu berasal dari suara angin yang menggoyang daun-daun kelapa dengan kuat. Saya bahkan mengira suara itu berasal dari badai di tengah laut yang bergerak ke daratan.

Pagi-pagi benar kami pun keluar dari pemondokan dan bergegas ke pantai. Menyusuri pantai dan bermain-main di atas karang sepertinya menyenangkan. Menjelang siang, air laut yang jernih terlihat menyenangkan untuk dipakai untuk berenang. Segera saya turun ke pantai untuk menikmati kesegaran air laut setelah melihat Fame dan Nila yang sudah lebih dulu nyemplung ke laut. Tupic dan Suprie enggan bergabung bersama kami. Ah, rugi sekali kalian! ;))

Menikmati kesegaran air laut selatan

Telentang di atas pasir putih dan membiarkan diri diterpa ombak rasanya begitu menyenangkan! Seakan semua penat dan lelah langsung sirna!

Kami tak bisa belama-lama karena sebelum tengah hari kami harus sudah sampai di Surade. Hari Jumat membuat kami mengejar waktu sholat Jumat di masjid tempat kami beristirahat ketika tiba. Badan lengket akibat mandi di pantai langsung segera dibersihkan dan bergegas packing.

Kami menggunakan angkot berwarna merah-biru yang membawa kami dari Ujung Genteng kembali ke Surade. Dari Surade kami bertemu dengan ELF yang sama ketika kami berangkat dari Lembur Situ. Kalo emang jodoh tak kan lari ke mana! :))

Angkot Sukabumi-Surade

Dan perjalanan dari Surade ke Lembur Situ kali ini mampu menjawab rasa penasaran kami mengenai apa yang membuat kami terguncang dan tak tidur semalaman. Rupanya benar, jalanan bergelombang dengan kelokan tajam serta berbukit lah penyebab semua itu!

Namun rupanya pemandangan yang ditawarkan rute “menyebalkan” ini begitu memesona. Hamparan kebun teh dari Perkebunan Teh Tugu serta pemandangan jurang-jurang mampu membuat kami sejenak melupakan goncangan-goncangan ini. Walau begitu, bagi yang tidak tahan, goncangan-goncangan ini tetep bisa membuat mabok perjalanan dan muntah! ;))

Dari Lembur Situ, kami menuju ke Terminal Degung menggunakan angkot berwarna kuning untuk kemudian kembali ke Bogor. Dari Degung, kami kembali ke Bogor dengan (lagi-lagi) menggunakan ELF jurusan Sukabumi-Bogor. Jalanan macet karena week end membuat waktu tempuh molor!

Perjalanan menyenangkan kami akhirnya berakhir dan kami harus kembali ke peradaban yang menyebalkan. Jujur, selama di Ujung Genteng, kami semua merasa bahwa waktu seolah-olah berjalan lambat di sana. Begitu tenang dan damai!

Kalo dihitung-hitung, dengan bermodal uang sekitar 400 ribu rupiah per orang, kami bisa melakukan jeng-jeng ke Ujung Genteng. Itu sudah termasuk transportasi pergi-pulang, makan, jajan, dan penginapan. Tentu biaya tersebut menjadi ringan karena kami patungan.

Sebuah jeng-jeng akhir tahun yang menyenangkan! \:d/

95 comments

  1. wah akhirnya sampai ke Ujung Genteng juga, kok ndak ada dibahas soal “warung-warung” di tepi pantai yang baru ramai saat malam hari ya?

  2. aku pengen ngomentari :
    1. AKU SUKA PENYUUUUU…PENYUNYA CANTIIIIIKKKKKK 😡
    katanya, tukik2 itu yg bisa survive hingga tumbuh dewasa dan bertelur lagi, dari sekian banyak itu cuman satu….

    2. wooohhhh ada pameran piano / kulintang telentang :d
    *hayoooo foto yg mana itu ?*

  3. biarpun perjalanan yang menyengsarakan..tapi terbalaskan juga oleh sebuah pengalaman yang menakjubkan…

    “bahkan perjalanan itu pun akhirnya menjadi sebuah memory yang inada untuk di kenang”

    hehehehe….mantaph kang

  4. aduh…bacanya smpe pegel nih mata, tp asyik banget tuh! 🙂
    kenapa ga sekalian ke curug Cikaso…? tantangannya lebih asyik… *katanya sih, belum pernah kesana hahaha…. 😛 *

  5. Wedan … mantap surantap …
    Dowo tenan tulisane.
    Lali ngukur nggo meteran.
    Tapi kok setiap kali aku liat celono kuning yo.
    Duwe pirang lusin kui ? :d

  6. setahuku, supir angkot di sukabumi itu golongan putih. mereka seneng banget nganter orang walau sedang ga narik dan biayanya tetep normal. [-(

  7. ooouuuuughh iriiiiii sangat!!! :(( libur terakhir ke pelabuhan ratu juga pengen jeng-jeng kesana, cuma jauh dan medan yang berat itu membuat saya membatalkan niyat. kasian vio soalnya #:-s

  8. Liburan yg mengasyikkan.
    Aku pengen liburan..

    Kapan ya aku bisa liburan? Apalagi bisa ke sana? 😕

    Gak penting ah. Yang lebih penting, bagaimana nanti malam ngisi momen pergantian tahun. :d ^^v

  9. Mr. Jengjeng is back. Great trip, great post. Welcome home boss. Kapan pulang solo?

    *salam kenal*

  10. nampaknya amat seru dan menyenangkan, walopun aku lebih suka gunung daripada pantai. btw caper ini nggak dipublikasikan ulang di milis JS tah?

  11. Ujung Genteng katanya tempat yg bagus buat motret. Sayang belum kesampaian kesana. Eh iya harga sewa cottagenya berapa rupiah? Liburan tu paling menguras kantong ya di penginapan.

  12. ya ampun, foto kedua terakhir.
    ono ikan asin raksasa terdampar! ;))

    pantainya bagus ya, timbangan pantaine jogja 😀

  13. duh, senengnya.. aye belum kesampaian lihat penyu di situ.. 8-| bung zam.. lain kali kalo calo bus uki teriak “terakhir, terakhir”, jangan langsung percaya. apalagi baru jam 9 di malam liburan. di uki, bus ada sampai jam 11-an malam, setelah itu masih ada mobil omprengan..

  14. AwEsOme adveNtuRe…
    ThANk God fINally thE reAl mAn is baCk…
    dTunggu posTIngan jEngJeng bRktnya…
    BrAvo…bRavo…

  15. Postingan liburan yang puaaanjjjaangg … :))

    Ke Sukabumi makan Soto Lamongan, hmmm … saya dong dari Kalimantan, oleh-olehnya pem-pek palembang :))

    Berharap bisa kesana juga aah … 😀

  16. paragraf terakhir iku kok mbingungi seh,
    jare per orang Rp. 400 ewu.

    “Tentu biaya tersebut menjadi ringan karena kami patungan.”

    opo patungan Rp. 400 ewu per orang ?? *dipentung*

  17. @adpiati kademangan:

    karena patungan, maka tiap-tiap orang cuma modal 400 rebu. kalo ndak patungan, bisa lebih dari 400 rebu. begitu, kang.. 😀

  18. mau duonk..di kasih tau total budget untuk ksna
    dan temapat penginapan yg murah meriah y..
    terima kasih

  19. argh, saya pingin ke penangkaran penyuuuu 🙁 saya kok pingin banget melepaskan anak penyu ke laut lepas, ya… kayaknya kalo liat di tivi gimana gituuuu… terharuuu … pengennnn 🙁

  20. Waaahh.. kayanya bisa jadi alternatif liburan ya.. kok baru denger skr ya namanya (ato aku yg kuper ya? hihihi..). Btw, itu tidur kok bs sambil duduk sih?

  21. akang2 mas2 sama mbak2, kira-kira ongkos ke Surade habis berapa juta. Dari terminal sukabumi berapa kilo-an

  22. @ Budiman:

    dari Terminal Lembur Situ, Sukabumi, ke Surade, naek ELF dengan ongkos 20 rebu saja. lama perjalanan sekitar 5 jam!

  23. mas, saya minta alamat email sampeyan donk, pingin tanya-tanya banyak nieh about UG, atau ada account yang bisa buat chat?

  24. rah ini baru jalan2 seru….. tapi ke pelosok bgt ya 😀 sumpah seru abis 😀
    abis budget berapa tuh mas semuanya?

  25. Kang atas info na akhir na saya berangkat ke green canyon. Nah tgl 24 saya ada rencana ke ujung genteng…bisa minta info harga2 penginapan n ada no Tlp penginapan yg bisa di hubungi ga? Plisss

  26. Mas mo tanya boleh yaaa..

    Di Sukabumi sampai jam brp tepatnya?
    Saya rencananya mau ke UG dan mau melakukan perjalanan malam juga. Berangkat dari UKI mungkin jam 7 malam. Sampai di Sukabumi jam brp yah tepatnya? Trus naik angkot di Lembur Situ jam brp?

  27. Wah.. seru banget, tapi kayaknya capek banget naik angkotnya 🙁

    trs pake acara hujan lagi..:(

    tp sih worth it lah pas sampe pantainya…

    pulangnya pasti capek banget ya? hehe…

    thanks for sharing the story ya..

    really interesting!

    salam kenal

  28. punten numpang nanya….

    tempat penginapan nya apa namanya dan berapa permalam nya????

    karna saya sebelumnya menginap dirumah warga…

    tolong dibls yah kang..
    hatur nuhun…

  29. Kang, nanya.. kalo penginapan ini tepatnya di jalan apa. hari ini saya survey pengingapan diantaranya Pondok Wisata Koboi dan Penginapan Abudin harganya 300 ribu (kok mahal ya?) Pondok Adi brapa?

    trus, saya rencana ke Ujung Genteng naik innova, inget jalannya gonjang ganjing, naik innova masih recommend ga ya?

    thanks a lot

  30. penginapan di Ujung Genteng tarifnya sekitar 300-400 ribuan juga. bentuknya bungalow, jadi bisa dipake beramai-ramai. untuk jalan,

    pake Innova masih bisa kok. 🙂

  31. mas, saya juga udah nyampe ujung genteng… sama temen2 abis rafting di Ciberang, mampir ke Pelabuhan Ratu trus lanjut ke Ujung Genteng.. 3-4 jam Pelabuhan Ratu – Ujung Genteng..

    mas, sempet ke ombak 7 nggak??? dari penangkaran penyu masih lurus lagi.. naik ojek lewat hutan2 itu lah… tapi, pas “nemu” pantainya… wooowwww beniiiiiiinnnnggggg bangeeetttt… cuma ya itu, ombaknya gede juga, tp langsung pecah sama karang2…

    salam kenal ya,mas…

  32. mas, saya libur lebaran kemarin ke UG, melihat jalan dan naik ELF berasa naik roller coster selama 4 jamm
    wow. its so amazing…..
    ditambah lagi,curug cikaso yg tak dapat dilalui kendaraan darat, jadi saya naik perahu menuju curug cikaso pemandangannya very very very beautiful dan pantainya yg membuat saya ingin kembali lagi ke UG….
    dan lebih beruntungnya lagi saya tidak perlu mengeluarkan uang banyak untuk penginapan, karena tidak jauh dari pantai ada sanak saudara disana…..
    membuat trip kali ini paling berkesan dari trip trip sebelumnya

  33. mas lebaran tahun ini saya ada rencana mau kesana sama temen2,
    tau budget min yang mesti dibawa kalo pake transport umum & harga penginapan disana??

    kalo bisa lebih terperinci ya mas…hehehe
    tolong bantuanya… 🙂
    ditunggu di email saya ya mas..
    thx b4.

  34. datang lagi ke sini yach…
    saya tunggu kedatangan kalian untuk mengunjungi pantai ujung genteng….

    yang tidak pernah datang ke daerah kami sangatlah rugi…
    makanya kami tunggu di daerah kami, Sukabumi Selatan, Jampang kulon, Ciracap, Ujung Genteng

Comments are closed.