Museum Seni Rupa dan Keramik, Menyimpan Koleksi Benda Seni Berbagai Masa dan Bangsa

Museum Seni Rupa dan Keramik

Berkunjung ke Museum Seni Rupa dan Keramik yang terletak di Jalan Pos Kota No 2, Jakarta Barat (kompleks Kota Tua/Taman Fatahillah) rupanya mampu menambah wawasan saya tentang sejarah perkembangan seni rupa Indonesia.

Sekitar 400-an karya seni rupa yang kebanyakan berupa keramik, lukisan, serta ukiran dari berbagai daerah dan berbagai periode dipamerkan di sini.

Sekilas bila melihat gedung, gedung museum ini mirip dengan gedung-gedung peradilan. Pilar-pilar raksasa menopang kanopi berbentuk prisma memperkuat kesan ini. Terang saja, wong dulunya adalah gedung peradilan Hindia Belanda pada kompleks benteng Batavia (Ordinaris Raad Van Justitie Binnen Het Kasteel Batavia) yang dibangun pada tanggal 12 Januari 1870.

Tahun 1944, ketika masa pendudukan Jepang, gedung ini pernah dipakai sebagai asrama militer KNIL dan selanjutnya digunakan sebagai asrama TNI. Tanggal 10 Januari 1972, gedung ini dimasukkan dalam daftar bangunan bersejarah.

Pada tahun 1973-1976 gedung ini digunakan untuk kantor Walikota Jakarta Barat, dan pada tanggal 20 Agustus 1976 gedung ini diresmikan sebagai Balai Seni Rupa oleh presiden Soeharto. Tanggal 7 Juni 1977, gubernur Ali Sadikin meresmikan museum keramik yang sejak tahun 1990 berubah fungsi menjadi Museum Seni Rupa dan Keramik.

Terdapat pintu besar yang menuju sebuah hall besar (dugaan saya, dulu tempat ini adalah ruang sidang), dengan patung Sindudarsono Sudjojono, bapak seni lukis modern Indonesia, di sebelah kiri (sebelah utara) dan patung Raden Saleh Syarif Bustaman, perintis seni rupa Indonesia modern, di sebelah kanan (selatan).

Pintu bagian depan

Museum ini buka setiap hari Selasa-Minggu, mulai pukul 9 pagi hingga 3 sore. Tiketnya cukup murah, yaitu 2 ribu rupiah untuk orang dewasa dan seribu rupiah untuk mahasiswa.

Setelah membeli tiket, saya mendapatkan brosur berisi sekelumit cerita tentang museum ini. Benar saja, isi dari brosur ini memang sangat minim dan kurang informatif.

Saya memasuki ruangan pertama di sayap utara. Di ruangan ini dipamerkan berbagai benda keramik yang diambil dari sejumlah kapal dari berbagai bangsa yang tenggelam di perairan Indonesia.

Dari benda-benda yang dibawa oleh kapal-kapal ini bisa diketahui apa saja komoditas saat itu, jalur-jalur mana saja yang dilewati, dan periode kapal itu melintas di nusantara. Selain itu juga bisa diketahui adanya jaringan perdagangan yang terjadi di Asia pada abad 9-10.

Kebanyakan benda-benda yang dipamerkan di ruangan ini berupa guci-guci yang sudah lapuk dan ditempeli kerang di sana-sini. Selain itu ada juga semacam perhiasan yang berbentuk semacam kelereng yang sudah lapuk dan tidak berbentuk.

Di ruangan ketiga sayap uatara, ada sebuah tangga besi dengan ukiran yang sangat indah khas Eropa, berdiri menjulang di tengah ruangan.

Yang menarik dari ruangan ketiga ini adalah adanya penjelasan tentang situs Intan shipwreck, salah satu situs kapal tenggelam yang menyimpan ratusan artefak. Yang menarik dari penemuan ini adalah penjelasan tentang sistem pengemasan (packaging) yang dilakukan pada masa itu.

Guci-guci dan keramik lainnya disusun dan disimpan sedemikian rupa ke dalam suatu guci besar. Sistem ini disebut dengan sistem “wadah disimpan dalam wadah”.

Penasaran, saya pun naik ke lantai atas dan di sana terdapat ruangan yang menyimpan berbagai koleksi keramik dari Cina, Jepang, Arab, dan Eropa. Koleksi ini berupa piring-piring dan alat makan dengan hiasan pola tertentu yang dari situ bisa diketahui periode pembuatannya.

Keramik dari Cina dan Eropa

Keramik-keramik dari Dinasti Yuan (abad 14 M) dominan berwarna hijau, keramik dari Dinasti Ming (abad 15) yang bermotif dan dominan menggunakan warna biru, Dinasti Tang (abad 7-10 M) yang kebanyakan polos tanpa motif dengan dominan warna kuning, Dinasti Qing (abad 18 M), Dinastio Sung (abad 13 M), keramik dari Jepang, keramik dari Eropa bergambar hiraldik, hingga keramik Arab abad 19/20 bertuliskan huruf Arab dalam bahasa Melayu.

Karena ruangan ini buntu, maka saya pun kembali menuruni tangga dan menuju ke bagian belakang. Di bagian belakang ini merupakan ruang pamer lukisan-lukisan dari berbagai periode. Selama dalam ruangan ini, pengunjung tidak diperkenankan untuk memotret.

Saya tidak berani mencuri-curi mengambil foto karena di beberapa sudut saya melihat kamera pengawas yang diletakkan di sudut-sudut strategis, sehingga gerak-gerik pengunjung bisa terawasi.

Ruang-ruang pamer dibagi-bagi berdasarkan periodenya. Jadi lukisan yang dipamerkan itu merupakan hasil karya pelukis yang hidup di masa-masa itu. Ruang pertama adalah ruang di masa Raden Saleh hidup (periode 1880 – 1890). Salah satu yang terkenal adalah lukisan yang berjudul “Bupati Cianjur” karya Raden Saleh.

Berikutnya, ruangan-ruangan periode Hindia Jelita (periode 1920-an), Ruang Persagi (periode 1930-an), Ruang Masa Pendudukan Jepang (periode 1942 – 1945), Ruang Pendirian Sanggar (periode 1945 – 1950), Ruang Sekitar Kelahiran Akademis Realisme (periode 1950-an), yang berada di blok sebelah utara dan terakhir Ruang Seni Rupa Baru Indonesia (karya-karya periode 1960 – sekarang) yang berada di satu blok selatan.

Beberapa lukisan terkenal dipamerkan di ruangan ini, antara lain lukisan berjudul “Ibu Menyusui” karya Dullah, “Potret Diri” karya Affandi, “Laskar Tritura” karya S. Sudjojono, dan “Dancing in the Cloud” karya Antonio Blanco.

Patung ukiran Tottem

Di halaman belakang terdapat patung-patung kayu berukiran tottem besar. Pohon sawo dan melinjo nampak menghiasi halaman belakang ini membuat udara sedikit segar. Di sepanjang koridor juga disediakan bangku-bangku untuk beristirahat sambil menikmati kicauan burung yang hinggap di pohon-pohon di halaman belakang ini.

Kamar kecil dan musholla terletak di belakang dan semuanya kondisinya sangat baik dan terawat. Di kawasan ini juga tersedia wi-fi yang disediakan oleh Telkom, tapi saya tidak mencoba apakah koneksinya kencang. 😀

Di sayap selatan, tepat di ujung ruang pamer lukisan, terdapat ruang keramik yang memamerkan keramik-keramik dari Asia semacam Thailand dan Vietnam. Di ruangan ini juga terdapat tangga ke atas.

Saya tertarik dengan koleksi yang disebut dengan kendi susu. Kendi ini unik karena di bagian moncong terdapat gelembung yang sekilas memang tampak seperti payudara (susu). Meski kendi ini berasal dari Thailand, namun masyarakat mengenalnya dengan nama kendi Majapahit. Mungkin kendi ini dipakai pada era Majapahit kali, ya?

kendi susu dari Thailand (kendi Majapahit)

Di lantai atas, keramik-keramik yang dipamerkan berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Mulai dari keramik kasongan, keramik Bandung, Kalimantan, dan sebagainya. Kebanyakan keramik-keramik ini terbuat dari tanah liat.

Selain keramik berupa peralatan rumah tangga, juga terdapat karya seni dari seniman-seniman Indonesia. Salah satunya adalah patung bertajuk “Urbanisasi” karya Sri Hartono yang terbuat dari tanah putih tanpa glasir. patung ini menggambarkan segerombolan orang yang menumpang bus untuk pergi ke kota (urbanisasi).

Urbanisasi karya Sri Hartono

Tertarik mengunjungi museum ini?

16 comments

  1. pas urip nang jakarta rung sempat mrono rek.. paling banter monas ama museum gajah di deketnya kementrian depkominfo dan bunderan HI

  2. boleh minta gambar-gambarnya gak??
    tapi yang ga ada tulisannya jengjengmatriphe??
    xixixixixixi,,
    can help me?
    buat tugas kuliah, tapi kmrn ga bawa kamera dan gambar terbatas..
    tengkyu 🙂

  3. Tahun 2010 kondisi museum seni rupa mengenaskan…ruang pajang gelap bukan main, untuk melihat lukisan saja susah.

    Sekarang ruang pajang sudah dicat putih bersih, diterangi lampu pameran…jauh lebih baik meski masih kurang perlindungan terhadap tangan-tangan jahil. Sayang pengunjungnya masih belum banyak bertambah.

Comments are closed.