Jeng-Jeng Batam

di Batam!

Batam memang pulau yang unik. Bila mendengar kata “Batam”, selalu terbersit nama “Singapura” (karena dekatnya jarak dari Batam ke Singapura, sehingga Batam menjadi salah satu pintu gerbang ke Singapura), barang-barang murah (baik yang orisinil atau KW-1), kawasan industri, hingga memiliki dua “pemerintahan”.

Saya berkesempatan mengunjungi pulau ini atas dukungan dari Travelwan, sebuah majalah pariwisata yang concern ke bidang industri pariwisata dan para pelaku industri wisata (tour agent dan hotel). Terima kasih, Travelwan!

Penerbangan paling pagi adalah salah satu hal yang kurang saya suka. Apalagi kalo bukan susahnya melawan rasa kantuk ketika bangun pagi. Namun di sisi positifnya, saya suka melihat suasana Jakarta yang senyap. Jarak tempuh ke Bandara Soekarno-Hatta yang minimal 1 jam bisa menyusut menjadi setengahnya.

Setelah datang kepagian di bandara, check-in, dan take-off, selama di atas pesawat saya habiskan dengan tidur. Rasanya ndak rela waktu tidur kepotong gara-gara kudu pagi-pagi ke bandara. Jarak tempuh Jakarta-Batam, normalnya sekitar satu setengah jam. Lumayan lah buat merem-merem sejenak.

Menjelang landing, terlihat gugusan kepulauan Riau nampak susun menyusun di atas laut biru, dari atas pesawat. Samar-samar, jembatan Balerang yang menjadi icon dari kota Batam terlihat, sebagai pertanda bahwa kami sudah dekat dan hampir mendarat.

Begitu mendarat di Bandara Hang Nadim (yang namanya diambil dari pejuang Melayu yang bermarkas di pulau Batam ketika melawan Portugis di Malaka), kesan pertama saya: Batam panas banget!

Bandara Hang Nadim, Batam

Maklum saja, tanah di Batam itu gersang banget, dengan warna tanah yang merah bata karena mengandung bauksit, sehingga tidak subur. Ndak heran kalo di Batam itu tidak ada sawah dan kebun, sehingga sayur mayur dan kebutuhan pokok diimpor dari Jawa/Sumatera.

Saya dijemput oleh pihak Hotel Puri Garden (+62 778 458 888) tempat saya akan menginap, dengan menggunakan mobil yang saya jarang melihat di Jakarta.

“Ini mobil dari Malaysia, Mas. Di sini banyak berseliweran mobil-mobil bekas dari Singapura dan Malaysia, tandanya adalah plat nomornya menggunakan kode huruf X di bagian belakang, misal BP 1234 DX. Mobil-mobil berplat nomor X ini tidak bisa keluar dari pulau Batam,” jelas Mas Dhani, pihak hotel (Manager Marketing) yang menjemput saya.

Soal tranportasi umum, di Batam sangat jarang ditemukan angkutan umum. Paling banyak sih taksi (diucapkan sebagai “teksi”) tanpa argo, sehingga penumpang harus tawar menawar. Bahkan yang lebih ekstrim, taksi yang berisi penumpang (kalo masih ada tempat) bisa diberhentikan di tengah jalan, selama tujuan searah. Mirip kayak kita nyegat angkot!

Beberapa taksi di Batam memang sudah menerapkan sistem argo, tapi itu hanya di beberapa armada saja. Selebihnya ya taksi angkot itu.

Kami menuju ke Nagoya, yang dulunya bernama Lubuk Baja, daerah perdagangan dan hiburan paling semarak di Batam. Selain mall, ruko-ruko, dan hotel, di Nagoya bisa ditemukan dengan mudah cafe, pub, dan diskotik. Maklum saja, Nagoya merupakan salah satu tempat kehidupan malam terbesar di Batam. “Kalo di Jakarta, pub atau diskotik tutup jam 4 (pagi) atau Shubuh, di sini, diskotik bubar itu jam 7 pagi,” jelas Mas Dhani.

“Di sini dulu jadi salah satu pusat perjudian ‘resmi’ di Indonesia, namun semenjak Kapolri dijabat oleh Soetanto (sekitar tahun 2005), maka pusat-pusat judi ini tutup, sehingga banyak ruko-ruko yang kosong,” jelas Mas Dhani ketika saya bertanya kenapa banyak ruko dan bangunan kosong yang terbengkalai. “Yang punya kebanyakan orang Singapur, Mas..,” tambahnya.

Setelah meletakkan barang bawaan di hotel yang terletak persis di depan Nagoya Hill, salah satu mall terbesar di Batam (kalo di Jakarta bentuknya kayak ITC atau ruko-ruko), kami diajak menuju Batam Center, pusat pemerintahan dan administrasi Kota Batam.

Peta Batam (kredit peta: Google Maps)

Batam memiliki dua “pemerintahan”, yaitu Otorita Pengembangan Daerah Industri (Batam Industrial Development Authority – BIDA) yang lebih sering disebut dengan Badan Otorita Batam (BOB) dan Pemerintah Kota Batam.

Otorita Batam awalnya memiliki tugas untuk membangun Batam menjadi pusat industri pada tahun 70-an. Kemudian seiring dengan pesatnya pembangunan, pada tahun 1990, Kotamadya Administratif Batam memiliki status otonomi yang dipegang oleh Pemerintah Kota Batam dan bekerjasama dengan Badan Otorita Batam.

Namun pada prakteknya, sering muncul kebingungan dan ketimpangan. Misalnya, ketika hendak mendirikan bangunan, ijin IMB harus diajukan ke Pemko atau ke Otorita? “Kita ngajuin ke Pemko, nanti Otorita juga minta ‘jatah’, demikian pula sebaliknya. Apalagi status tanah di Batam ini kita nyewa, bukan beli,” demikian ungkap Pak Parjo, driver yang mengantar kami, yang sudah 20 tahun tinggal di Batam semenjak dideportasi dari Malaysia karena masuk secara ilegal.

Suasana di Batam Center memang rebih rapi, namun lebih sepi dibanding Nagoya. Setelah berkeliling sejenak, kami mampir ke Pelabuhan Batam Center, salah satu gerbang menuju Singapura menggunakan kapal. Gara-gara kami mampir ke pelabuhan ini, terbersitlah ide untuk menginjakkan kaki di Singapura!

Dari Batam Center, kami akhirnya makan siang di Warung Bandung, warung makan Sunda yang cukup besar di Batam Center. He he he, jauh-jauh ke Batam, malah makan makanan Sunda.

Gonggong, hidangan khas Batam

Dari menu, saya terarik dengan menu Gonggoong (Strombus turturella), yaitu siput laut namun ukurannya besar (panjangnya bisa mencapai 5-7 cm), salah satu hidangan khas Batam. Cangkang dari Gonggong sering digunakan sebagai gantungan kunci atau hiasan.

Untuk memakan hewan ini, caranya dengan mencongkel dagingnya dengan tusuk gigi. Hati-hati dengan tungkai gergajinya, karena tungkai gergaji ini sangat keras dan tajam, sehingga tidak bisa dimakan. Saya yang alergi seafood, ketika mencobanya ternyata tidak apa-apa. Gatal-gatal di badan yang biasanya muncul setelah makan makanan laut tidak muncul, mungkin akibat dari minuma air kelapa yang saya pesan sebagai penawar. 😀

Panas yang terik membuat kami duduk bersantai dan leyeh-leyeh di warung ini sembari menunggu matahari agak tergelincir. Di warung ini, saya janjian kopdar dengan punggawa blogger Batam, Mas Joko “Geblek” Supriyanto.

Jembatan Tengku Fisabilillah (Balerang #1)

Setelah matahari agak tergelincir, kami segera menuju ke tenggara. Jembatan Balerang menjadi tujuan kami berikutnya.

Jembatan Barelang adalah rangkaian 6 jembatan sepanjang 2 km, menghubungkan 3 pulau besar, yaitu Batam, Rempang, dan Galang. Di antara ketiga pulau ini, ada 3 pulau-pulau penyangga, yang menjadi tumpuan jembatan, yaitu Pulau Tonton, Pulau Nipah, dan Pulau Setokok di antara Batam dan Rempang, kemudian dari Pulau Rempang langsung ke Pulau Galang, dan berakhir di Pulau Galang Baru.

Jembatan-jembatan ini punya nama, yaitu:

  1. Jembatan Tengku Fisabilillah menghubungkan Pulau Batam dengan Pulau Tonton dengan panjang 642 meter. Jembatan inilah yang paling mencolok dan terkenal, karena memiliki cable-stay sebagai salah satu tumpuan.
  2. Jembatan Narasinga menghubungkan Pulau Tonton dengan Pulau Nipah, berbentuk lurus tanpa lengkungan dan memiliki panjang panjang 420 meter.
  3. Jembatan Ali Haji menghubungkan Pulau Nipah dengan Pulau Setokok, panjangnya 270 meter.
  4. Jembatan Sultan Zainal Abidin menghubungkan Pulau Setokok dengan Pulau Rempang dengan panjang 365 meter.
  5. Jembatan Tuanku Tambusai menghubungkan Pulau Rempang dengan Pulau Galang memiliki panjang 385 meter.
  6. Jembatan Raja Kecil menghubungkan Pulau Galang dengan Pulau Galang Baru memiliki panjang lebar tinggi 180 meter.

Jembatan Tuanku Tambusai (Balerang #5)

Dari keenam jembatan ini, hanya Jembatan Tengku Fisabilillah dan Jembatan Tuanku Tambusai saja yang menurut saya bentuknya paling bagus.

Ketika kami turun menuju kaki jembatan, saya melihat banyak perahu-perahu kecil melintas di selat-selat pulau. Perahu ini membawa beberapa muatan, diduga muatan tersebut adalah barang selundupan.

Perjalanan kami hanya sampai di Pulau Galang. Di pulau ini terdapat lokasi bekas kamp pengungsi Vietnam, yang dipakai pada tahun 1979-1996.

Ketika terjadi perang saudara di Vietnam pada tahun 1980-an, ratusan ribu penduduk Vietnam selatan mengungsi. Dengan menggunakan perahu kayu, mereka sempat terombang-ambing selama berbulan-bulan di Laut Cina Selatan, sebelum akhirnya sampai di Pulau Galang.

PBB melalui badan yang mengurusi para pengungsi, UNHCR bekerja sama dengan pemerintah Indonesia saat itu kemudian membangun kamp pengungsian di Pulau Galang, tepatnya di Desa Sijantung, Kepulauan Riau, seluas kurang lebih 80 hektar.

Di dalam kamp pengungsi ini selain rumah-rumah juga dibangun berbagai sarana, seperti rumah sakit, sekolah, tempat ibadah, penjara, hingga pemakaman.

Kondisi bangunan di bekas kamp Vietnam ini begitu memprihatinkan, meski beberapa masih berdiri kokoh. Selain karena material bangunan yang sebagian besar adalah kayu, kurangnya perhatian pemerintah (hayo, Otorita Batam atau Pemko, nih?) membuat kondisi lokasi ini makin menyedihkan.

Di lokasi ini, ada beberapa obyek saja yang sempat kami kunjungi.

Anak penjual kerajinan di Pagoda Bukit Teratai (Quan Am Tu)

Begitu masuk kompleks bekas kamp yang berjarak kurang lebih 50 km dari Batam ini, kami langsung menuju Pagoda Bukit Teratai (Quan Am Tu Quil). Sesuai namanya, pagoda ini terletak di atas bukit.

Wihara ini masih aktif digunakan untuk beribadah umat Budha. Warnanya yang berwarna-warni membuat bangunan ini mudah dikenali dari kejauhan. Tak jauh dari pagoda, terdapat bangunan berisi benda-benda peninggalan dari pengungsi Vietnam serta foto-foto yang dipajang di dinding.

Patung Dewi Guang Shi Pu Sha

Seorang ibu dan dua anak lelaki berkepala plontos mirip biksu shaolin, tengah asyik merakit ornamen ibadah. Ornamen ini dijual dan digunakan untuk meletakkan berbagai sesaji sembahyang.

Patung Dewi Guang Shi Pu Sha berdiri megah di depan pagoda. Konon barang siapa yang berdoa dan melemparkan uang koin ke arah patung Dewi Guang Shi Pu Sha, akan dilancarkan jodoh dan dijaga keharmonisan keluarga, serta bagi anak-anak bisa pintar sekolah dan tercapai cita-citanya.

Setelah berkeliling pagoda, kami kemudian melanjutkan perjalanan menuju kompleks eks kamp Vietnam. Dengan menyusuri jalan beraspal yang bercabang-cabang, kami menuju ke kompleks pemakaman Ngha Trang.

Di kompleks ini terdapat 503 makam para pengungsi Vietnam yang sakit akibat terkatung-katung di laut atau karena depresi mental. Dari nisan bisa dilihat ada 2 agama mayoritas yang dianut oleh penduduk yang dimakamkan di sini, yaitu Kristen/Katholik dan Budha.

Makam ini masih aktif dikunjungi oleh keluarga dari mereka yang ditinggalkan. Para peziarah ini dulunya para pengungsi Vietnam yang kehidupannya kini sudah mapan dan tinggal di Australia, Canada, dan Amerika Serikat.

Ngha Trang Grave

Tujuan kami berikutnya adalah ke monumen perahu yang digunakan pengungsi. Di tengah perjalanan, mobil yang kami tumpangi sesekali berhenti karena banyak monyet Maccaca (keluarga kera) yang berkeliaran di sekitar hutan dan jalan.

Begitu mobil berhenti, para monyet ini mendekat, mengira akan mendapat makanan kecil. Mungkin karena kebiasaan para pengunjung yang memberikan makan kepada monyet-monyet ini, sehingga mereka mengira setiap mobil berhenti akan memberikan makanan. Sungguh kebiasaan yang memprihatinkan!

Monyet Maccaca yang berkeliaran

Kami sampai juga di monumen perahu yang pernah digunakan para pengungsi dari Vietnam. Pada tahun 1995, ketika para pengungsi Vietnam ini hendak dipulangkan, mereka protes dengan membakar dan menenggelamkan perahu-perahu ini.

Setelah para pengungsi sudah dipulangkan pada tahun1996, perahu-perahu yang ditenggelamkan ke dalam lumpur di perairan sekitar Pulau Galang sedalam kira-kira 1 meter ini oleh Otorita Batam diangkat, diperbaiki, dan dipamerkan di monumen ini. Konon untuk mengangkat perahu yang ditenggelamkan ini dibutuhkan sekitar 800 drum plastik!

Monumen perahu pengungsi Vietnam

Perjalanan kami berakhir di “zona inti” dari eks kamp Vietnam ini. Di kawasan ini, rumah-rumah masih cukup kokoh berdiri, beberapa ditempati oleh warga (entah dari mana mereka berasal, namun yang pasti bukan orang Vietnam). Di sekitar lokasi ini masih berdiri bangunan bekas rumah sakit, bekas penjara dan barak polisi, hingga gereja dan klenteng yang masih digunakan.

di depan Gereja Katholik Nha To Duc Me Vo Nhem

Ketika melangkah masuk melewati jembatan kayu yang rapuh di depan gereja Katholik Nha To Duc Me Vo Nhem, nuansa mistis langsung terasa. Entah mengapa saya merasa di kawasan ini begitu “wingit”, padahal di kompleks pemakaman Ngha Trang, saya merasa biasa-biasa saja.

Gereja kayu ini masih cukup kokoh. Ketika mengintip di sela-sela pintu, altar dan kursi-kursi ibadat masih terawat. Dugaan saya, gereja ini masih dipakai untuk misa dan kebaktian masyarakat yang tinggal di daerah ini.

Di samping gereja, terdapat patung Bunda Maria berukuran besar tengah berdiri di atas kapal. Tak jauh dari gereja ini juga terdapat wihara dan beberapa patung-patung Budha. Rupanya agama Budha dan Katholik banyak dipeluk oleh para pengungsi.

Menurut Pak Parjo, driver kami, lokasi ini dulu pernah dipakai untuk syuting acara menguji keberanian dan nyali menghadapi gangguan alam ghaib. Pantas saja sejak tadi saya merasa hawa-hawa ndak menyenangkan di lokasi ini.

Selama perjalanan keluar dari kompleks eks kamp pengungsi Vietnam untuk kembali ke Batam, kami melewati beberapa obyek lain, namun ndak turun. Obyek-obyek tersebut adalah barak dan kantor Brimob Polri untuk menjaga keamanan kamp pengungsi. Barak ini juga dilengkapi dengan penjara untuk menahan para kriminal.

Eks barak Brimob Polri dan penjara

Selain barak, kami melewati sebuah monumen Patung Kemanusiaan. Patung berbentuk setengah badan perempuan ini diberi nama Tinhn Han Loai, sesuai dengan nama perempuan tersebut. Menurut cerita, Tinhn Han Loai yang canik jelita diperkosa oleh sesama pengungsi. Akibat menanggung malu, ia memutuskan bunuh diri. Untuk mengenang peristiwa tragis ini lah, maka patung ini dibuat oleh para pengungsi.

Dari Pulau Galang, kami kembali ke hotel yang berada di Nagoya, Batam. Senja sudah hampir tiba, maka untuk menikmatinya, kami mampir di sebuah cafe di daerah Bukit Cinta. Di sini sering dijadikan tempat nongkrong pasangan remaja yang dimabuk kasih sembari melihat gemerlap daerah Nagoya dan Jodoh, dari atas bukit. Makanya daerah ini disebut dengan Bukit Cinta.

Sembari menikmati Teh Obeng, sebutan es teh manis di Batam, kami menikmati senja sembari melepas lelah akibat berkeliling seharian. Di kejauhan, nampak gemerlip gedung-gedung pencakar langit di Singapura sana. Hampir tiap lima menit, terlihat kelip-kelip lampu pesawat berputar-putar di angkasa menunggu giliran mendarat di salah satu bandara hub terbesar di Asia Tenggara, Changi Airport.

Senja di Bukit Cinta

Kami pun memutuskan untuk menyeberang ke Singapura esok hari, setelah bernegosiasi dengan tour leader kami, Mas Dhani, karena obyek tujuan kami di Batam saya rasa kurang menarik, mengunjungi kawasan industri di Muka Kuning dan Kabil.

22 comments

  1. fotonya bagus2, tapi aku paling suka yang anak kecil berdua itu. baidewey baswey, gimana nih persiapannyaaaaa…? 😉

  2. loh, aku kira km gak jadi berangkat :p
    ditunggu laporan selanjutnya

    err .. baca ini aku jadi ingat klo aku jg belum bikin postingan ke Bangka kmrn. lol. thanks udah ngingetin 😉

  3. Asyik Zam..akhirnya jalan-jalan mu ada yang mensponsori.

    Tulisanmu, seperti biasanya menarik dan fotonya indah, terasa saya sendiri ikut jalan-jalan

  4. ah, wenak.. pergi ke Batam sama rombongan temen ibuku cuman wisata belanja. tau gitu, aku ikut jengjeng sama oom zam 🙁

  5. halo mas zam, aq putri..
    aq kerja di salah satu perusahaan swasta di bidang media..
    mau tny2 ttg pulau galang utk keperluan tugas aq…

    kalau boleh aq tny2 di email mu saja, bagaimana?? hehehe… itu jg kalau berkenan. trima kasih…

Comments are closed.