Serang Semarang™!!

Serang Semarang™!!

Tanggal 5-6 Mei lalu, temen-temen Loenpia mengundang CahAndong untuk jumpa muka dan menjalin silaturahmi serta persaudaraan.

Tentu saja undangan ini tidak akan disia-siakan. Setelah mengalami beberapa kali kesepakatan, akhirnya terbentuklah tim Serang Semarang™!! yang terdiri dari 7 orang dengan menggunakan 4 buah sepeda motor dan beberapa orang akan menyusul menggunakan bus.

Ketujuh anggota tim yang menggunakan sepeda motor adalah Didit sebagai korlap, Tupic, Mbak Amma, Adi, Ridho, Kailani, dan saya sendiri. Mas Is, Bunda Unai, Mas Irfan, dan Mas Boy menyusul kemudian. Bude Yutie pun ikut datang jauh-jauh dari Jepara.

Kali ini tim akan mengunjungi Lawang Sewu yang tak lagi menyeramkan, Polder Tawang di Kawasan Kota Lama, menikmati Kota Semarang dari Bukit Papandayan, Pagoda Avalokitesvara di Vihara Watugong, serta Klenteng Sam Poo Kong.

PEMBERANGKATAN

Tim berkumpul di kandangEBLIS™ sekitar pukul 13.00. Kemudian pada pukul 13.30 tim pun mulai berangkat. Tetapi karena ada beberapa keperluan antara lain, makan siang, mengisi pulsa, dan mengisi angin ban, tim meninggalkan Jogja pada pukul 14.30.

Tim sebelum berangkat

Rute Jogja-Semarang yang dilalui tim memang sangat “mulus” sehingga sukses membuat pantat anggota tim menjadi ikut-ikutan “mulus”. La gimana ndak mulus, udah jalan sempit, bergelombang dan berlubang, musuhnya pun truk-truk dan bus-bus yang memang sering mengerang karena kontur menanjak.

Tetapi yang patut disyukuri adalah pemandangan sepanjang perjalanan sungguh indah. Maklum saja, rute ini kan dikelilingi beberapa gunung, antara lain Gunung Merbabu di sisi timur dan Gunung Sumbing di sisi barat. Belum lagi ketika mencapai Ambarawa, Gunung Ungaran dan Gunung Telomoyo terhampar dengan menawarkan pemandangan eksotisnya.

Sekitar pukul 17.30 tim pun tiba di Semarang. Sesuai dengan kesepakatan dan koordinasi dengan Kang Fian, tim akan dijemput di Bukit Gombel. Sembari menunggu tim penjemput, apalagi yang bisa dikerjakan kecuali foto-foto? 😀

Tim Serang Semarang di Bukit Gombel

Kami pun akhirnya dijemput oleh Kang Fian yang kemudian disusul oleh Kang Jhiban. Kami langsung meluncur ke Lawang Sewu karena di situ temen-temen Loenpia sudah menunggu.

LAWANG SEWU YANG TAK LAGI MENYERAMKAN

Salah satu tujuan saya datang ke Semarang kali ini adalah untuk mengunjungi Lawang Sewu yang belum sempet tereksplorasi sepenuhnya pada kunjungan yang lalu. Akan tetapi saya harus menelan kekecewaan yang amat sangat. Bayangan mencekam dengan aroma mistis kental ketika tiba di Lawang Sewu langsung sirna, musnah, dan binasa! 😮

Ternyata di Lawang Sewu saat itu sedang diadakan Semarang Expo untuk memperingati HUT Kota Semarang ke 460. Tetapi kalo menurut saya, rasanya lokasi ini tidak cocok untuk diadakan sebuah pameran. Ruangan sempit dan banyaknya lorong-lorong sungguh sangat tidak nyaman bila digunakan untuk pameran.

Mungkin Pemkot Semarang ingin mengubah citra Lawang Sewu yang angker, menakutkan, dan mistis ini menjadi lebih “familiar”. Tetapi saya rasa justru terkesan memaksa. Lawang Sewu menurut saya justru memiliki nilai “plus” ya dari kesan mistisnya itu. 🙂

Yah, walau begitu, ada juga yang mampu mengobati kekecewaan saya yang memang kurang begitu suka dengan keramaian apalagi ada acara band-band-annya ini. Penampakan makhluk ghaib manis penghuni stand Djie Sam Soe dan Marlboro mampu melenyapkan rasa kecewa saya. Tetapi mohon maap, skrinsut sang makhluk tidak dapat terabadikan. >:)

Semarang Expo di Lawang Sewu

Setelah lelah berkeliling, akhirnya kami semua meninggalkan Lawang Sewu. Sebagian tim menjemput Bunda Unai dan Mas Is yang nyusul dari Jogja, sedangkan kami menuju ke rumahnya Budiyono untuk sekedar istirahat dan mengisi perut.

Setelah dirasa cukup, perjengjengan dilanjutkan. Kali ini kita menuju ke Kawasan Kota Lama.

KOTA LAMA YANG TERBENGKALAI

Eksotisme Kota Lama memang sudah lama terdengar. Ini pula yang membuat saya sangat penasaran dengan kawasan ini. Konon pemandangan Kota Lama di malam hari sungguh eksotis.

Kami pun akhirnya berkumpul di Polder Tawang. Polder Tawang pada masanya digunakan sebagai kolam untuk mengatur sirkulasi air di kawasan Kota Lama. Belanda memang sangat ahli untuk urusan perairan ini. Kolam retensi Polder Tawang yang dibangun pada tahun 1999 ini sayangnya tidak berfungsi sebagaimana mestinya.

Kolam yang terdiri dari beberapa tanggul, pintu air, dan saluran-saluran air ini kondisinya kini sangat memprihatinkan. Bau yang menyengat akibat air yang tergenang di kolam ini membuat kawasan yang sebenernya berpotensi ini menjadi kurang nyaman untuk dijadikan tempat kongkow.

Padahal kalo dicermati, kawasan ini bisa dijadikan sebagai tempat rekreasi murah dan ucapan “selamat datang” ketika kita mendarat di Semarang melalui Stasiun Tawang yang memang terletak persis di depan kolam ini.

Tim yang tadinya terpisah di Lawang Sewu akhirnya berkumpul di sini. Setelah saling berkenalan dan bercengkrama, apalagi yang dilakukan kecuali foto-foto? :)>-

Di Polder Tawang, Kota Lama, Semarang

Dari Polder Tawang kami pun bertolak ke icon dari Kota Lama, yaitu Gereja Blenduk. Dari banyaknya bangunan di kawasan yang menjadi latar film Kala ini, saya rasa hanya Gereja Blenduk dan sekitarnya saja yang terlihat lebih terawat.

SEMARANG DARI BUKIT PAPANDAYAN

Kami pun akhirnya meluncur ke Bukit Papandayan karena di sana rekan-rekan yang lain sudah menunggu di sebuah kafe. Di kafe ini, kita bisa melihat pemandangan Kota Semarang di malam hari yang begitu cantik karena lampu-lampu kota yang menyala.

Kota Semarang dilihat dari Papandayan

Di kafe inilah, saya akhirnya bisa mereview makanan berlabel yang menyesakkan hati, yaitu “TA-how” yang merupakan salah satu lahan usahanya Kang Yogie dan Niea.

Komentar saya, rasanya enak, unik, pedas ladanya mampu menuntut konsumen untuk nambah lagi. Tetapi akan LEBIH ENAK lagi kalo NAMANYA DIGANTI!! Menyinggung perasaan, tau?! >:p

Sekitar pukul 1.00 kami pun turun. Rasa capek yang amat sangat membuat saya langsung terkapar begitu tiba di rumah Budiyono. I-)

PAGODA AVALOKITESVARA

Pagoda Avalokitesvara

Pagoda Avalokitesvara terletak di Vihara Buddhagaya di daerah Watugong, Semarang. Pagoda ini konon menjadi yang pertama kali dibangun dan satu-satunya pagoda yang ada di Indonesia. Bangunan setinggi 45 meter yang hampir semua materialnya berasal dari Cina ini tampak menjulang ketika kita hendak memasuki Semarang dari selatan.

Begitu memasuki kawasan vihara, ada 3 buah bangunan yang bisa kita jelajah. Dan lagi-lagi kali ini saya tidak sempat berkeliling dan menjelajah setiap sudut tempat ini karena keterbatasan waktu. 🙁

Memasuki pelataran, kita akan melihat sebuah bangunan bernama Dharmasalla yang digunakan untuk beribadah umat Buddha di sisi kiri, sebuah bangunan bekas vihara sebelum pagoda dibangun di tengah, dan pagoda berada di sisi kanan.

Saya pun berbelok ke kanan untuk menuju ke pagoda. Sebelum masuk ke kompleks pagoda, kita akan disambut oleh patung Dewi Kwan Im, sang dewi welas asih. Tak jauh dari patung, tumbuh pohon Bodhi (Ficus religiosa L) yang usianya sudah puluhan tahun dengan patung Sidharta di bawahnya.

Gedung Dharmasalla

Di bawah pohon Bodhi inilah Pangeran Sidharta Gautama mendapatkan kebenaran sejati dan menjadi Budha Syakamuni. Ajaran yang diterima Sidharta inilah yang menjadi titik awal ajaran agama Budha (CMIIW). Di Indonesia, selain di vihara ini, pohon Bodhi juga ada di Candi Borobudur dan di sebelah utara gedung pusat UGM.

Untuk menuju pagoda, kita harus menaiki anak tangga. Di tengah-tengah anak tangga ini ada tempayan yang menurut kepercayaan orang Cina, tempat itu digunakan untuk mengirimkan sesuatu ke akhirat dengan cara membakar barang yang hendak dikirim itu. Selain itu ada juga tempat untuk menancapkan dupa dan ukiran naga di lantai tengah di antara tangga.

Menengok sebelah kiri, kita akan mencium suatu bau harum yang unik. Ternyata bau itu berasal dari bunga pohon Salla, pohon yang didatangkan dari India. Keunikan pohon ini adalah, bunga dan buahnya muncul dari batang pohon, bukan dari tangkai. Bunga dan buah pohon ini dilarang dipetik, tetapi bunga dan buah yang sudah jatuh boleh diambil oleh pengunjung. Menurut cerita, di bawah pohon Salla inilah Sang Budha dilahirkan dan meninggal.

Bunga pohon Salla

Di dalam pagoda, kita akan melihat sebuah patung besar Bodhisattva Avalokitesvara berwarna emas. Bodhisattva Avalokitesvara adalah sosok yang dihormati dan menjadi nama pagoda ini. Bodhisattva Avalokitesvara adalah sosok yang mengajarkan cinta dan kasih sayang. Nilai lainnya yang hendak diajarkan dari pagoda ini adalah moralitas. Pagoda ini juga disebut dengan Pagoda Meta Karuna di mana “meta” berarti “cinta kasih” dan “karuna” berarti “kasih sayang”.

Soal moralitas ini, saya sempet mendapatkan “siraman rohani” oleh salah satu pemandu ketika saya bertanya-tanya tentang pohon Salla dan riwayat pagoda ini. Mas Irfan yang melihat saya diceramahi cuma ketawa.

“Si Zam itu kan dulunya ndak bermoral, setelah diceramahi seperti itu bisa dipastikan kini agak lebih bermoral”, celetuk Mas Irfan. Asem ik.. :))

Saya pun mencoba tradisi Tjiam-shi. Tjiam-shi adalah tradisi turun temurun warga Tionghoa untuk meramal tentang nasib dan kehidupan. Caranya pun unik. Kita akan diberi sebuah tabung bambu yang berisi beberapa batang bambu yang diberi nomor. Kita diwajibkan menggoyang-goyang tabung bambu tersebut hingga salah satu batang bambu itu keluar dan jatuh ke lantai.

Kemudian untuk mengetahui apakah nomor yang tertulis di batang bambu tersebut “berjodoh” dengan kita, kita harus mengeceknya. Caranya, “pueh” atau batang kayu berbentuk sabit yang dibelah dua ditepukkan lalu dilepaskan. Jika kedua bilah jatuh dengan posisi saling berlawanan (salah satu terbuka dan lainnya tertutup), berarti nomor itu jodoh dengan kita dan kita mengambil kertas ramalan sesuai dengan nomor yang tertera pada batang bambu. Tetapi jika keduanya terbuka berarti nomor itu diragukan sedangkan bila tertutup berarti nomor tersebut tidak direstui.

Saya pun mencoba tradisi ini. Itung-itung bertanya kepada dewa, kapankah saya lulus? 😕 Tetapi sayang, setelah mencoba sebanyak 3 kali ramalan saya tidak muncul. Pueh yang saya jatuhkan tidak berlawanan posisinya. Ini berarti saya “belum beruntung” kali ini. Atau mungkin sang dewa sendiri juga bingung, kapan saya lulus? 😕

“Emangnya aku ini dosen pembimbingmu?”, gitu kali ya tanggapan dewa? :))

Mencoba Tjiam-shi

Watugong sendiri juga memiliki sejarah. Nama daerah ini diambil dari ditemukannya sebuah batu yang berbentuk seperti gong. Batu ini bisa kita lihat di taman di depan pintu masuk vihara ini. Konon, di daerah inilah ajaran Budha berkembang pertama kali di Semarang.

Batu berbentuk gong

Setelah lelah berkeliling, akhirnya kami pun menuju ke Klenteng Sam Poo Kong, karena beberapa rekan sudah menunggu di sana.

KLENTENG SAM POO KONG

Di sini, kami bertemu dengan Mas Boy yang menyusul dari Jogja dan temen-temen lain yang terpisah. Oiya, Mas Irfan juga menyusul langsung dari Solo dan langsung njujug ke Pagoda Watugong.

Soal Klenteng ini, sudah pernah saya bahas di tulisan yang lalu.

Di Klenteng Sam Poo Kong

MISSION ACCOMPLISHED!

Dari Sam Poo Kong, kami pun menuju ke sebuah warung bebek goreng di belakang SMA 1 Semarang. Tetapi cita rasa bebek yang ditawarkan warung ini rasanya kurang nendang. Dagingnya masih alot. Mungkin cara mengolahnya kurang sip. Daging bebek memang sedikit berbeda teksturnya dengan daging ayam. Sehingga bila kurang pandai mengolahnya, daging bebek tersebut akan alot. 😀

Di sinilah, Loenpia mengumumkan pemenang lomba Fotoblog. Pemenang pertama kali ini diraih oleh Fany. Congrats ya! <:-P

Oiya, Fany juga memberikan saya sebuah buku untuk direview. Makasih sudah memberi tanda tangan pada bukunya. Sayangnya masih kurang cap bibirnya, tapi ngecapnya jangan di buku, tapi di pipi. :-*

Setelah kenyang, kami pun beristirahat sejenak di sebuah masjid di kampus Universitas Diponegoro. Dan sekitar pukul 16.30 kami meninggalkan Semarang menuju ke Solo.

Loh kok ke Solo? Hiya, pengalaman jalan Jogja-Semarang yang penuh intrik membuat kami ingin merasakan nyamannya jalan Semarang-Solo yang lebar dan mulus. Selain itu, kami juga ingin menemani Mas Irfan kembali ke Solo.

Jalur ini juga cukup eksotis. Melalui kaki Gunung Telomoyo yang kemudian disambung dengan Merbabu, membuat senja saat itu begitu menggairahkan. Akan tetapi, rasa capek yang amat sangat membuat konsentrasi kami sedikit kendur. Beberapa kali kami harus waspada karena selepas Salatiga, jalanan sedikit lebih bergelombang. Bahkan sodaraku Tupic hampir terjatuh 2 kali akibat selip karena jalan licin akibat hujan yang turun sebelumnya.

Kami pun beristirahat sejenak di sebuah masjid untuk menunaikan sholat Maghrib, kemudian ketika memasuki Kota Boyolali, kami mampir sejenak untuk mengisi perut dengan mi ayam dan segelas susu segar khas Boyolali yang memang daerah penghasil susu tersebut.

Menikmati susu segar Boyolali

Kami pun berpisah dengan Mas Irfan di pertigaan Kartasura. Mas Irfan terus ke Solo, kami berbelok ke arah Klaten untuk meneruskan perjalanan ke Jogja.

Sebuah perjalanan yang melelahkan. Bahkan tanpa disadari, kami telah menyusuri jalur segitiga emas Joglosemar! #:-S

Untuk foto-foto lainnya, bisa dilihat di Galeri Narsis » Serang Semarang saya. 😀

Makasih, Loenpia! Makasih semuanya! Jangan kapok menerima kedatangan kami lagi! 🙂

39 comments

  1. *akhirnya selesai baca :)) (mata gempor, kacamata meleleh.. hahahahaha!!! *berlebihan ah. )

    aku suka foto2nya. esp yang ini: kerlip-semarang
    keren…
    di bandung mana ada ya kuil semegah itu :-/ ~ yang ada sekarang dibangunnya mol muluw…

    entah tapi gambar ini watu-gong .. kok mirip batok kelapa atau bengkuang yang di ZOOM. hueeuhueue.. *pemikiran yang aneh. baru lihat ada batu seunik itu..

    selamat yaa dah mendapatkan hari2 yang menyenangkan ! 🙂
    yang penting dah pada balik semua dengan keadaan sehat wa’afiat… mari kembali ke… pohon untuk … [sensor]

  2. huwaaaa seru sekaliii… [pengen mode ON]
    me juga mau dong meramal nasib pake kayu dan bertanya apa yang akan terjadi padaku setelah ini?
    semarang dari papandayan cantik sekali, perasaan kemarin dari gombel ndak secantik itu deh.

    tapi saya rasa saya tak akan sanggup menelan sepotong tahu yang dijual pada sebuah warung yang menanyakan ketakutan terbesar saya setahun terakhir ini. (walau itu adalah makanan kesukaanku)

    ^^

  3. we ik.. taon depan serang Festival Malang Kembali 2008 berani ga.. kira2 di bulan mei gitu. jangan lupa siapin kostum tempo dulunya, biar soul tempo doeloe-nya dapet ^_^

  4. Sebuah perjalanan yang melelahkan. Bahkan tanpa disadari, kami telah menyusuri jalur segitiga emas Joglosemar!

    wah… wis nganti jeleh lewat kono… 😛

  5. jigur!!
    jebule aku ketok elek yo nek poto dengan gaya escoret style!! ketok dengkule!!!

    wah bar iki ngajak serang DIENG ki….(keycode)

  6. atmospher semarang gelap.. atau atmosfer kameranya yang gelap… hehe.. photonya banyak yang gelap 😀

  7. ehehehee…
    terima kasih atas kunjungannya ke Semarang
    mohon maap nggak bisa nemenin sampe akhir…

    dateng lagi yaaa

  8. wew… udah bisa kebuka to??? kekna kmrn blm bisa kebuka tuh blog ini…..
    ugh… capekna belum ilang…… 😀

  9. semoga sambutan kami dari cah loenpia memuaskannn.kapan2 giliran kami yang akan serang jogja… jadi bersiaplahh :d. mohon maaf kemaren gak bisa nemenin sampek akher ada acara soalnya 🙂

  10. Maaf, sekedar ralat…
    Polder Tawang bukan bikinan zaman belanda. Itu bikinan jaman sekarang koq..
    Dulunya itu lapangan dan tempat jual beli barang2 bekas.

  11. jigur! uenak bianget ketokane zam! kok yo ora biyen2 pas aku iseh nang jogja! ngiri tenan ik. Kapan jeng-jeng nang suroboyo zam? tak enteni.

  12. @ Kang Andhi:

    Terima kasih koreksinya. Ternyata saya salah menduga, karena kolam retensi Polder Tawang tersebut berada di kawasan Kota Lama (Outstadt) sehingga saya mengira kolam tersebut juga dibangun pada pemerintahan Kolonial Belanda. Setelah saya mencari referensi, kolam retensi Polder Tawang dibangun pada tahun 1999.

  13. hemmm…apa kabar zam? dah lama gw g buka blog nih 😛
    eh eh, gw minta ya itu coba tolong kalo upload foto yo mbo’ jangan cuma narsis-narsisan doang… tapi objek yang dikunjungi (apalagi kalo bersejarah/tua/prasejarah) atau yang menjadi korban (makanan/minuman) ditampilken juga (lebih banyak bro) .. supaya lebih meranik, eh menarik 😛

    nah, lebih bagus lagi, kalo fotonya lebih banyak, atau ditambah video … mo lebih bagus lagi? bikin video, terus kirim ke gw dalam bentuk DVD :))

    well, personally gw paling suka gambar pagoda (yang kaga ada narsisnya ;P) dan bunga Salla itu … sayang pencahayaan bunganya kurang bagus, zam 🙂

    ah tetep aja asik bisa jalan-jalan …

  14. @ ariawn:

    Thanks masukannya. Kamu ndak baca “disclaimer” saya di atas? Saya kopaskan di sini:

    PERINGATAN! Banyak foto dan postingan narsis di blog ini. Sediakan ember untuk tempat muntah ketika membaca blog ini.

    Karena ini blog pribadi, ya jelas saya berhak untuk menampilkan foto-foto narsis saya, donk. :p

    Tapi makasih banget masukannya. Mungkin postingan ke depan akan lebih ditekankan pada obyek dan bukan pada subyek. 😀

  15. Untuk yg kesekian kalinya ai pgn teriak..

    “NGIRI…!!!!”

    Hikz..mupeng beratz nih..
    Pengen liat langsung Pagoda Avalokitesvara… *jatuh cinta*

  16. ahahahahaha…..zam gw itu cuma becanda lho …. 😛 gw paham banget kok kalo ini “ruang” pribadi lo … asal … tetep pake baju ya zam!? jangan mentang-mentang ruang pribadi lantas … 😛

    sekali lagi, tidak bermaksud tidak tahu diri disini lho 😀 … kan gw baca blog lo dah lama zam, masa baru komen sekarang sih? 😛

    * kalo pengen foto selaen yang narsis supaya lebih banyak, bener 😛 *
    * sebenernya ide bagus untuk bikin blog kaya gini … 😛

  17. weleh pengen tenan bikin begituan, kapan terwujud? apa dah tua ini ya jadi nggak ada yg diajak gila bareng hehehehe

  18. saya mencari hio harum warna hijau cap dewi kwan im teratai produksi pt. gunung kemukus indonesia.

    bagi siapa saja yg memiliki atau tahu barang tersebut minta tolong bisa hubungi hp saya 08179625896.

    terimakasih.

Comments are closed.