Berwisata ke lokasi wisata religi ternyata mengasyikkan. Merenung dan berinstropeksi kepada Tuhan di tempat yang memiliki sejarah tersendiri rupanya memberikan sensasi berbeda.
Dari Puncak Suroloyo, jeng-jeng kami lanjutkan ke kawasan wisata religi umat Katholik, Sendang Sono.
Lokasi ini selain memberikan pengalaman rohani bagi umat Katholik, juga memiliki sejarah tersendiri. Belum lagi pemandangan dan suasana alamnya yang rasanya cukup layak dijadikan tempat wisata.
Terletak di salah satu lembah di Bukit Menoreh, tepatnya di Kecamatan Kalibawang, Kabupaten Kulonprogo, DIY, menjadikan tempat ini tenang, sejuk, dan hening, sehingga sangat layak untuk menjadi ajang merenung dan mendekatkan diri kepada Tuhan.
Menuju ke sana, kami disambut sebuah gerbang berarsitektur modern. Pengunjung ndak ditarik tiket retribusi apa pun karena Gereja Promasan yang bertanggung jawab atas pengelolaan tempat ini memang ndak diijinkan menarik retribusi apa pun. Namun kita hanya ditarik karcis parkir yang pengelolaannya dipegang oleh pemda.
Sepanjang jalan menuju sendang, terdapat banyak kios pedagang yang menjajakan suvenir semacam pajangan salib, kaos, lukisan, maupun peralatan untuk beribadah semacam lilin, bunga, dan untaian rosario.
Anjing-anjing sangat banyak berkeliaran di kawasan ini. Sehingga kita harus waspada dan berhati-hati, terutama bagi yang takut anjing. Tapi percayalah, kalo niat kita baik, anjing-anjing ini ndak akan mengganggu kita, kok. 😉
Bangunan kawasan ini sangat cantik. Dibangun dengan menyesuaikan kontur alam yang berbukit sehingga kita akan menemukan banyak tangga dan undakan.
Kawasan ini ditata oleh Pastor Y.B. Mangunwijaya pada tahun 1970-an dan pernah mendapatkan penghargaan Aga Khan Award dari Ikatan Arsitektur Indonesia pada tahun 1991 pada bidang bentuk bangunan khusus pada kategori penataan lingkungan.
Kompleks ini sendiri terdiri atas beberapa bagian. Ada kompleks makam, goa Maria, kapel-kapel, sumber mata air, dan bangunan joglo yang mungkin digunakan untuk beristirahat.
Saya menuju ke atas dan melihat ada salib besar yang berdiri di samping kompleks Makam Semagung. Di sini kita dapat menemukan makam Barnabas Sarikromo, katakumen yang dibaptis pertama kali di Sendang Sono.
Sepanjang jalan menuju Goa Maria, kita akan menemukan fragmen-fragmen yang menceritakan perjuangan Kristus dalam menyebarkan agama Nasrani.
Di setiap fragmen terdapat tatakan lilin, di mana saya menemukan beberapa orang peziarah menyalakan lilin dan khusyuk berdoa di depannya.
Saya akhirnya tiba juga di pusat kompleks ini. Goa Maria terletak di depan Pohon Sono, yang menjadi cikal bakal penamaan dari obyek wisata ini.
Goa Maria di tempat ini mempunyai kisah tersendiri. Patung Bunda Maria yang ada di sana merupakan hadiah dari Ratu Spanyol yang untuk membawanya dibutuhkan usaha yang keras karena kondisi alam yang memang sulit dijangkau.
Sekitar tahun 1945, beberapa pemuda Katholik mendapat kesempatan berkunjung ke Lourdes, Prancis, membawa batu dari sana yang dipercaya merupakan batu dari goa tempat penampakan Bunda Maria kepada Bernadette Soubirous di Lourdes pada tahun 1858.
Batu dari Lourdes tersebut kemudian ditanam di bawah kaki patung Bunda Maria, sehingga kawasan Sendang Sono juga populer disebut dengan nama “Lourdes-nya Indonesia”.
Di bawah pohon Sono yang rindang ini, beberapa peziarah nampak khusyuk berdoa menghadap ke Goa Maria. Ada berbagai macam persembahan yang diletakkan di altar, namun yang paling banyak terlihat adalah lilin dan bunga.
Nama Sendang Sono sendiri berasal dari kata “sendang” yang berarti kolam mata air dan “Sono” yang berasal dari kata pohon Sono yang tumbuh di situ.
Mata airnya sendiri berada di bawah pohon Sono yang sayangnya kita ndak bisa melihat langsung karena lokasi ini ditutup dengan kaca.
Air dari sendang kemudian dialirkan melalui kran-kran, sehingga kita bisa leluasa untuk mencuci muka, meminum, bahkan membawa pulang air ini dengan menyimpannya ke dalam botol atau jirigen kecil yang banyak dijual di kios suvenir di depan.
Selain melakukan ritual ibadah, kita juga bisa sekadar menikmati pemandangan alamnya yang memang asri. Gemericik air yang mengalir melalui sungai yang membelah kompleks ini menambah syahdu suasana.
Bentuk tangganya pun unik. Jika kita memperhatikan dengan seksama, ada bentuk anak tangga bersusun selang-seling yang berbentuk segi enam.
Kita juga akan menemukan beberapa bangunan kapel yang memiliki nama-nama. Misalnya ada Kapel Maria yang berisi patung Bunda Maria, Kapel Rasul yang menceritakan kisah perjuangan 12 rasul Kristus, dan Kapel Kristus yang berisi patung Kristus disalib.
Bangunan Joglo berbentuk panggung juga dapat kita temukan di sini. Bangunan ini bisa kita gunakan untuk beristirahat atau tempat merenung dan berdoa kepada Tuhan.
Saya melihat ada arsitektur Cina pada bangunannya. Selain corak warna merah yang dominan, beberapa ukiran dan bentuk tangganya mengingatkan saya pada klenteng di film-film kungfu. 😀
Weh, perpaduan kebudayaan yang cukup menarik. Joglo mewakili Jawa, bentuk rumah panggung ala Sumatra, arsitektur Cina, dan nuansa Eropa dari patung-patungnya berpadu dengan cantik. 😀
Menengok sejarah, kawasan ini dulunya bernama Sendang Semanggung dan digunakan oleh para biksu dari Borobudur yang singgah untuk beristirahat dengan meminum air sendang sebelum melanjutkan perjalanan ke Biara di kawasan Boro.
Pada tahun 1904, seorang pastor bernama Rama Van Lith, SJ datang untuk menyebarkan agama Nasrani di tanah Jawa, terutama di Muntilan, Magelang.
Pastor ini kemudian menggunakan air dari sendang ini untuk membaptis 178 orang pada tanggal 14 Desember 1904. Peristiwa inilah yang kemudian disebut sebagai peristiwa pembaptisan pertama kali yang dilakukan di tanah Jawa.
Walau kawasan ini sudah dikenal sejak tahun 1904, namun kawasan ini baru diresmikan pada tanggal 8 Desember 1929 oleh Pastor Rp. Prennthaler, SJ.
Demikian hasil persinggahan saya ke lokasi wisata religi ini. Meskipun saya bukan umat Katholik, saya merasakan pengalaman spiritual tersendiri.
Kedamaian di tempat ini begitu terasa, sehingga saya ndak berani berbuat narsis yang bisa merusak ketenangan di tempat ini. 🙂
Ah, andai saja umat beragama di Indonesia bisa merasakan kedamaian seperti apa yang saya rasa.. 🙂
Foto lainnya ada di Galeri Narsis. 😀
tobat narsis? :d
sip..good review
Pengen kesana…
saya juga ngerasa tempat itu “bukan tempat biasa” …
:d
trus, kapan ke gereja ganjuran?
wah, info yang menarik sekali ini, mas.. makasih banget ya! salam kenal!
Blom bsa ksana…
*menatap fenuh iri*
.
.
*berlalu*
dab blogmu kok kadang susah bgt buat dibuka yah?!? … terakhir ke tempat itu waktu study tour SMP jaman dulu .. jadi pengen lagi kesana
kaget liat foto #3 … 😛 tapi setelah mikir gak kaget lagi.. huehehehe :-“
patung bunda maria itu ada juga di panti rapih…:P
aku lho blum pernah kesana..asem ra ajak ajak [-(
ooo itu to puncak suroloyo,
kok iso blayangan tekan kono to kang, ekekeke
ono kuliner`e ra wi?
ada fatwa haram ziarah ke sana gak Om? :d:d
koq iseh tradisional
nganggo sajen
*sigh*
serasa hidup di abad jadul
itu bukan sajen…itu lilin, setiap kali kita berdoa memang (kebanyakan) memakai lilin sebagai pengganti api roh kudus
owh
*sama kayak Nisa* :”>
hmmm… jadi keinget seseorang liat tempat ini 🙁
tak pikir itu tadi lagi wudhu 😀
satu tempat lagi di Jogja yg wajib didatangi….
Katakumen itu sakramen baptis khas Katholik, saya sendiri kurang tau pasti. Biasanya sih kalo umat Katholik mau nikah, syaratnya harus sudah Katakumen. Kalau di Protestan, istilahnya Katekisasi/Sidi. CMIIW.
@ Kang Hedi:
wah.. matur suwun sanget informasinya, kang! 🙂
nda nyampe2 malang..
DI Ponorogo ada satu tempat untuk umat Katolik yaitu di Goa Maria, Sooko. Tempat ini juga termasuk salah satu obyek wisata di Ponorogo dan cukup terkenal bagi umat nasrani
ARHHHH!!! ITU ADA FOTOKUUUU…
Hayu bayar royalti kau om!! :”>
Aku mau nulis, tapi keduluan.. Ya sudahlah…
Oiya, Katakumen atau katekis itu profesi yang bertugas mengajar, mewartakan Sabda Allah… Kalo di ISlam, semacam Ustadz lah.
tambahan informasi,..pada clash 2 perang kemerdekaan..Salah seorang pastur pribumi, Romo Sanjoyo di culik disini dan dibunuh oleh Pejuang Hizbullah.
sering banget aku denger namanya sendang sono tp blum pernah ke sana hehehe….
ngebaca postmu bikin aku ngebayangin betapa damainya di sana 🙂
eh, met thn baru ya!
tahun baru templatenya baru juga, jengjeng yang spektakuler juga kali ini Zam.
blom pernah kesana nih 😀
mempertegas sekali lagi atas kekayaan keragaman budaya di negeri ini
jadi..mana templet untuk saja ?
Jaman SMP dulu pernah ke Sendang Sono bareng sekolah, baca postingan ini jadi pengen ke sana lagi 🙂 Layout barunya bagus banget Zam
ga bisa baca buku, tapi jeng jeng terossss…. hahahah…
@ Choy Gun Fat:
terima kasih infonya, bung! royaltinya saya bayar pake hape saja, ya? 😀
@ Mas Iman Brotoseno:
wah, informasi tambahan lagi. makasih, mas!
Apa-apaan itu “Chow Gun Fat” 8-|
Ohohoo… Same-same. Eh, maksudnya pakai HP? 😕
kayaknya saya kenal sama orang yang di poto terakhir… 😕
koreksi…
bukan katakumen tapi katekumen… katekumen tu orang yang menjalani masa katekumenat. katekumenat sendiri artinya masa di mana seseorang dapet suatu pelajaran tentang agama katolik dulu sebelum akhirnya dia dibaptis. katekumen cuma buat orang yang dibaptis dewasa *kebanyakan orang dibaptis pas bayi*
aku ngerti banget soalnya aku baptise yo wis kelas 6… ngga ada hubungannya sama kawin tu…
dulu jalan kaki dari parkiran ke sendang sono itu… berapa kilo ya itu?
malem2, ngantuk2
walo ngga bisa ngliat pemandangan alam,
tapi emang khusyuk
kalo mo liat tempat kek gitu yg lebih bagus lagi, di pohsarang,kediri aja…
kemaren pas aku ke sana juga sama sedulur2 yang bukan katolik jg… malah pas syawalan *pernah aku tulis di blog kok*
eh, mungkin anda sedikit tidak percaya saya bisa berkomen banyak tentang ini
😛
@ chocoluv
tumben koe nongol, nduk? isih urip ternyata.. wakaka..
thanks for de info, ya.. 😀
Sebagai sesama orang katolik, saya menghimbau supaya semua saudara untuk selalu berdoa sebanyak – banyaknya untuk dapat selalu menjaga keseimbangan alam yang ada.
Kapan ya terakhir ke sana? Kayaknya udah beberapa tahun yang lalu.
Biasanya brangkat malem hari trus jalan salib dari Promasan. Pas pulang sempet mampir cekrak cekrek di jembatan kali Progo.
Hmmm….jadi pengen ke sana lagi.
lom pernah kesana euy ^^
yup bener katekumen tuh masa pembelajaran untuk orang yang ingin masuk katolik (dari anak-anak sampai dewasa) jika sudah selesai akan dibabtis, biasanya pada hari raya natal / paskah
ntar abdi rek dolan ah kesana 😀
kalo mengenai kedamaian, menurutku sih tergantung dari hati kita masing-masing ^^ di WC juga damai kok ^^
salam buat ehem-ehem nya ^^
rumah saya cuma 2km dari sana….
besok lo da yang mau kesana tak anter deh….
tak tmbhin,kasih liat tmpt laen dkt2 situ yg bagus
rumah saya di kalibawang…. bkn malang……
[email protected]
Jadi pengen jiarah lagi……:-?:-?
boleh urun komen?:-?
hehe. sendangsono mmg sepiii…, sejuk…. ya iyalah, apalagi kalo dibandingin ganjuran (ada candinya loh!).
bbrp wkt lalu ksana dan tjebak hujan dlm joglo. jd mengagumi aliran sungai dan air hujan deh.:d
kapan2 jeng2 d tempat ziarah lain y!
dtunggu tulisannya.
🙂
tu tempat deket sama rumahku,… hehehe udah bosen ngeliatnya,. tapi bener sejuk,,, wuih segeeer udaranya coy,.. uasik buat wisata rohani,
aah.. sayang sekali gak ada sesi foto2 narsisnya..
saya sangat simpatik dan salut terhadap penulis artikel in. sikapnya yang menghargai agama lain sungguh terpuji dan menjadi contoh yang amat baik bagi kita semua. Kerukunan dan rasa saling menghormati memang harus dimiliki oleh segenap bangsa Indonesia. jadikan perbedaan sebagai alat pemersatu bangsa. Tak peduli agamamu, Tuhan kita satu, Allah yang menciptakan seluruh umat manusia. Semoga perdamaian dan cinta kasih antar umat beragama di Indonesia dapat terjalin sebagai wujud iman dan cinta kita terhadap Allah, Tuhan yang Maha Esa.
tempat narsis banget.