Gang Rukunan Kotagede, Potret Kampung Joglo Tua

Di Gang Rukunan, Kotagede

Kotagede mempunyai banyak sekali bangunan-bangunan tua yang bisa dibilang heritage.

Mulai dari peninggalan Kerajaan Mataram, bangunan berarsitektur Jawa-Eropa, hingga perkampungan penduduk yang bangunannya masih asli.

Bangunan-bangunan ini seolah-olah bercerita tentang perkembangan dan persebaran kehidupan sosial-ekonomi di Kotagede.

Masyarakat Kotagede yang awalnya hidup dari sektor agraria dan abdi dalem kraton semakin majemuk semenjak kedatangan kaum Kalang.

Rumah-rumah tua berarsitektur Jawa-Eropa yang sering disebut dengan Rumah Kalang banyak kita temukan di sebelah barat, tepatnya di sekitaran Jalan Tegalgendu.

Bangunan berupa toko-toko tua dapat ditemukan di Jalan Mandarakan, Jalan Kemasan, dan Jalan Karanglo yang semuanya berpusat menuju Pasar Gede.

Sedangkan bangunan perkampungan tua berisi rumah joglo banyak tersebar lebih ke dalam atau mblusuk.

Untuk menikmati kampung berumah joglo ini, kita harus benar-benar ndoyok dan blusukan. 😀

Lokasi perkampungan joglo ini memiliki krakteristik yang unik. Berada di antara gang-gang sempit yang membentuk labirin membuat kita harus benar-benar jeli untuk dapat menemukannya.

Gang-gang yang disebut “gang rukunan” atau “jalan rukunan” ini sebenernya banyak, namun yang paling terkenal adalah Gang Rukunan yang berada di Kampung Alun-alun.

Lokasi ini merupakan kompleks pemukiman yang banyak terdapat rumah-rumah joglo dengan bentuk dan susunan yang masih asli.

Kalo biasanya rumah joglo memiliki halaman yang luas, tidak demikian dengan rumah-rumah joglo di gang ini.

Bagian pendapa dan dalem dari rumah-rumah joglo ini berhimpitan saling sambung menyambung hingga membentuk gang.

Gang inilah yang kemudian dikenal dengan Gang Rukunan, yang mencerminkan betapa rukunnya para warga di gang ini.

Rumah-rumah joglo di Gang Rukunan, Kotagede

Gang di Kampung Alun-alun ini kemudian dikenal dengan nama “Between Two Gates” karena gang ini diapit oleh 2 buah gerbang tembok tua yang eksotis pada kedua ujungnya.

Julukan “Between Two Gates” ini diberikan oleh tim peneliti dari Jurusan Teknik Arsitektur UGM pada tahun 1986.

Ada 9 buah rumah milik saudagar Atmosoeprobo berderet di gang ini, sehingga bisa dibilang kalo gang ini milik pribadi. Namun gang ini boleh dilewati juga oleh umum.

Rumah-rumah pada kompleks ini rata-rata dibangun pada pertengahan abad ke-19. Corak arsitekturnya bermacam-macam, ada Jawa-Hindu, Jawa-Islam, dan Kolonial.

Uniknya, semua rumah di gang ini berderet dari barat ke timur dan semuanya menghadap ke selatan.

Ada beberapa rumah yang terdapat semacam pendopo di depan rumah yang digunakan untuk aktivitas warga semacam berkumpul, latihan menari, atau membuat kerajinan.

Masih ingat dengan sinteron “Gita Cinta dari SMA” produksi Karno’s Film? Syuting sinetron berdurasi 13 episode ini ternyata mengambil setting di kawasan ini, loh!

Berjalan menelusuri gang ini seolah-olah melemparkan kita ke masa lalu. Suasana yang tenang ditambah keramahan warga yang saling bertegur sapa bila bertemu menjadikan suasana semakin akrab dan damai.

Nuansa kuno akan tercermin dari bentuk jendela dan pintu. Warna-warna hijau-biru pucat atau coklat kayu semakin menambah kesan tua.

Jemuran di depan rumah

Bentuk-bentuk persegi yang tegas merupakan pola geometri yang dominan menghiasi daun pintu dan jendela.

Teralis kayu vertikal yang polos atau berukir dapat kita temui pada jendela atau ventilasi di atas pintu.

Belum lagi bentuk-bentuk ukiran dan ornamen melingkar pada tiang penyangga dengan atap seolah-olah mengimbangi kekakuan yang tercipta oleh pola-pola persegi.

Bentuk atap joglo dan limasan menunjukkan posisi dan status pemilik rumah. Bentuk atap limasan biasanya dimiliki oleh warga biasa, sedangkan atap joglo biasanya dimiliki oleh para juragan atau orang yang mempunyai status tertentu.

Corak ubin pada lantainya pun begitu khas, mengingatkan saya pada ubin di rumah nenek saya di Surabaya yang juga termasuk rumah kuno.

Kesan kokoh sangat menonjol terlihat dari kayu jati yang digunakan untuk kusen, pintu, dan jendela.

Pakaian yang dijemur di depan rumah dengan menggunakan tali semakin menambah kesan pemukiman yang kental.

Keunikan lainnya terletak pada temboknya. Tembok-tembok pada rumah ini ndak memakai rangka besi. Hanya menggunakan susunan bata sedemikian rupa sehingga temboknya menjadi sangat tebal.

Namun di sinilah kerugiannya. Gempa 27 Mei 2006 telah merobohkan banyak rumah kuno di kawasan ini. Beruntung, rumah-rumah di kawasan ini masih ada yang berdiri dan selesai direnovasi.

Gang Rukunan bisa menjadi alternatif wisata budaya selain berkunjung ke Kompleks Makam-Masjid Agung dan belanja kerajinan perak.

Lokasi ini ndak jauh dari Kompleks Makam Kotagede. Dari alun-alun, menyusuri Jalan Cantheng ke selatan sekitar 400 meter. Gang Rukunan berada di sebelah timur Jalan Cantheng yang ditandai dengan gerbang tembok bercorak khas.

Namun pengunjung selama di gang ini harus bersikap sopan, tenang, dan menghormati tata krama Jawa.

Duduk-duduk menikmati suasana Gang Rukunan

Bagi pecinta budaya, heritage, dan bangunan kuno tentu akan merasa bagai di surga. ;))

32 comments

  1. @cK
    keliatan dari baju hitam ala kedinasan tansTV ya? tapi yg bener itu jengjengTV lho 😀

    lhah kunjungan yang kedua mana ndan? 😕

  2. “Bagi pecinta budaya, heritage, dan bangunan kuno tentu akan merasa bagai di surga.”

    Bagi yang tidak? koyo nyambangi omah demit yo zam? 😀

  3. iyohh!!! asek sangadh!!!! afalagi kalo uda rumah-rumah tua yang begidu itu…wah, ngiler sangadh saia…
    ah ya, kalo gang macanan gimana? itu dulu temfadh tinggal saia….(ndak ada yang nanya..)

  4. Waah, aku pengen tinggal disana. Rumah impianku ya di lingkungan sejenis Kota Gede itu. Doh, kapan ya aku pergi dr Jkt :((

  5. ah aku tau lah daerah ini. jangan dikira aku ga pernah blusukan juga mas ;))
    gini-gini, demen blusukan nyari jalan pintas naek speda loh *dulu 😀

  6. Makasih informasinya. Saya copi untuk anak saya di SDN Kotagede I. Katanya buat tugas Pendidikan Pusaka.

Comments are closed.