Mungkin ndak banyak yang tahu bahwa Jakarta mempunyai suaka margasatwa yang sekaligus menjadi hutan mangrove dan lahan basah yang menjadi benteng terakhir untuk melawan abrasi.
Walau suaka margasatwa yang terletak berdampingan dengan kawasan pemukiman elit Pantai Indah Kapuk ini merupakan suaka margasatwa terkecil di Indonesia, Suaka Margasatwa Muara Angke memiliki sekitar 30 jenis vegetasi berupa mangrove dan tumbuhan lainnya, 91 jenis burung air dan burung hutan, serta satwa lain seperti monyet dan biawak.
Bersama Tupic, Didit, Aad, Nila, dan Widi, saya berkesempatan mengunjungi suaka margasatwa yang sejak tahun 1939 sudah diresmikan oleh pemerintah Hindia Belanda ini.
Menuju lokasi yang secara administratif terletak di wilayah Kelurahan Kapuk Muara, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara ini cukup mudah dijangkau dengan kendaraan umum.
Dari terminal Blok M, kami naik bus PPD 37 jurusan Blok M-Muara Angke yang cuma berhenti sampai Mega Mall Pluit. Dari depan Mega Mall ini, kami naik angkot merah U11 dan turun di perempatan gerbang masuk Pantai Indah Kapuk.
Kemudian kami berjalan masuk ke arah PIK, melewati gerbang dan setelah menyeberang Sungai Angke berbelok ke kanan menyusuri trotoar di seberang kompleks ruko Mediterania Niaga. Gerbang Suaka Margasatwa Muara Angke terletak sekitar 300 meter dari jembatan ini.
Selain dari Blok M, bisa juga ditempuh dari Terminal Grogol. Dari Terminal Grogol, naik angkot merah B01 yang mempunyai jurusan Grogol-Muara Angke, kemudian turun di perempatan Pantai Indah Kapuk.
Di dalam, rupanya rombongan dari Jakarta Green Monster sedang mengadakan acara. Kru TransTV juga nampak sedang melakukan liputan.
Seorang penjaga langsung menyambut kami dengan tatapan yang kurang menyenangkan. Untuk masuk, kami ditanyai mengenai Simaksi (Surat Ijin Masuk Kawasan Konservasi) yang harus dibuat sehari sebelumnya di Departemen Kehutanan. Blah! Apa-apaan ini? :-w
Kami kan cuma berniat berwisata, kenapa harus menggunakan surat ijin? Belum lagi si petugas meminta ongkos untuk penggunaan kamera yang saya rasa tidak masuk akal, 100 ribu rupiah! Udah gitu si petugas meminta uang rokok.
Namun setelah melalui proses negosiasi, kami akhirnya diijinkan masuk juga. Kami bahkan tidak mengeluarkan uang sepeser pun untuk “uang rokok”. :p
Saya sebenernya lebih sreg kalo ada semacam retribusi, dengan diberi karcis tanda masuk resmi, sehingga uang yang masuk juga jelas. Kalo pun harus ijin, kenapa harus ke Departemen Kehutanan yang lokasinya sangat jauh itu?
Kalo untuk melakukan kegiatan, boleh lah. La kalo cuma pengen berwisata biasa? Kasihan buat yang datang jauh-jauh dan tidak mengetahui adanya aturan Simaksi ini. Minimal dibuatkan Simaksi sementara di tempat gitu.
Namun untuk menghindari masalah, sebelum berkunjung ke tempat-tempat yang termasuk kawasan konservasi semacam cagar alam, suaka margasatwa, dan taman nasional, sebaiknya kita mengurus Simaksi di Departemen Kehutanan, meski hanya berwisata.
Departemen Kehutanan juga sebaiknya memberikan informasi mengenai syarat-syarat dan tata cara mengurus Simaksi ini. Bahkan ketika saya googling, saya belum nemu informasi yang oke mengenai pengurusan Simaksi ini.
Harus diakui, kami cukup beruntung bisa masuk ke sana tanpa Simaksi. Hehehe. :-”
Selesai urusan di pintu masuk dan Simaksi, kami pun mulai meniti jembatan-jembatan kayu yang menjadi track penjelajahan sepanjang kurang lebih 1 km ini. Di awal, track masih rindang karena banyaknya pohon Pidada (Sonneratia caseolaris) yang menaungi. Bila “beruntung”, kepala bisa kejatuhan buah Pidada dari atas, jadi berwaspadalah.
Buah Pidada menjadi makanan favorit Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) yang merupakan salah satu satwa penghuni suaka margasatwa ini. Pohon Pidada mempunyai ciri akar nafas berbentuk seperti tombak yang menancap ke dalam lumpur dengan air yang memiliki kadar garam rendah.
Buah Pidada berbentuk bulat dengan bagian tengah buah ada semacam tangkai, bila dimakan rasanya masam. Bunga Pidada mekar pada dini hari.
Di kawasan yang masih rimbun ini terdapat pula sebuah menara pengawas yang tampaknya sudah tidak dipakai. Warna coklat karat yang menempel di batang-batang besi mengukuhkan hal ini.
Lepas dari kawasan Pidada, kami memasuki kawasan rawa dengan vegetasi berupa Gelagah (Saccharum spontaneum) dan Eceng Gondok (Eichchornia crassipes). Di kejauhan, terlihat bangunan-bangunan megah pemukiman PIK.
Di tengah track terdapat semacam bangunan untuk beristirahat. Ketika kami tiba, tampak seorang bule yang dari perawakannya saya menduga seorang backpacker, sedang duduk beristirahat.
Dua orang fotografer sedang memotret model wanita yang sedang berpose di atas track kayu. Lokasi ini rupanya juga dipakai untuk pemotretan.
Kami meneruskan perjalanan dan di kejauhan nampak beberapa ekor burung Cangak Abu (Ardea cinerea) sedang terbang dan seekor tampak sedang bertengger yang seolah-olah sedang berdiri di atas permukaan rawa.
Di tengah penjelajahan, sayup-sayup saya mendengar suara “koak-koak” di antara rerimbunan semak. Kemungkinan itu suara burung Kowak Malam Kelabu (Nycticorax nycticorax).
Panas mentari semakin menyengat ditambah bau amis membuat keringat bercucuran dan badan terasa lengket. Setelah melewati area yang banyak ditumbuhi Api-api (Avicennia marina) dan Nipah (Nypa fruticans), kami pun beristirahat sejenak di bawah pohon Pidada besar.
Semilir angin begitu sejuk membuat kami betah berlama-lama duduk ngemper sambil menikmati bekal logistik yang kami bawa. Saya mengamati sekitar dan tampak seekor pelatuk Caladi Ulam (Picoides macei) sedang mematuk-matuk batang Pidada.
Ndak jauh dari situ, nampak burung kecil berwarna kuning, yang sepertinya burung madu Sriganti (Nectarinia jugularis) betina.
Setelah puas ngaso, kami pun beranjak untuk meneruskan perjalanan. Masih didominasi pohon Nipah, kami harus menghalau beberapa daun Nipah yang menutupi jalan hingga kami sampai di ujung jembatan.
Awalnya kami mengira jembatan ini akan mengarah kembali ke gerbang masuk, tapi ternyata tidak. Untuk kembali, kami harus melalui rute yang sama dengan rute kami tadi. Apa boleh buat, kami memang tidak bisa ke mana-mana lagi.
Ketika kami kembali, Widi berteriak karena melihat seekor Biawak (Varanus salvator) kecil sepanjang sekitar 30 cm sedang berenang di atas rawa. Kami pun segera menghampiri dan rupanya si Biawak kecil ini sedang memanjat tiang jembatan kayu. Setelah menungu sebentar, Biawak ini kemudian nongol dan nampak sedang berjemur sebentar.
Sepanjang perjalanan, saya masih penasaran dengan kehadiran Monyet Ekor Panjang yang menjadi primadona suaka margasatwa ini. Namun sepanjang perjalanan saya tidak melihatnya.
Monyet yang sering dipakai untuk pertunjukan topeng monyet ini mempunyai peranan penting dalam penyebaran biji-bijian tumbuhan hutan di Suaka Margasatwa Muara Angke melalui fecesnya.
Mengunjungi Suaka Margasatwa Muara Angke memang menyenangkan. Namun sayangnya pengelolaannya yang kurang maksimal serta ribetnya jalur birokrasi membuat potensi tempat wisata edukasi ini menjadi kurang terekspos.
Beberapa sampah plastik juga menjadi keprihatinan tersendiri. Lokasinya yang memang berdekatan dengan lokasi pemukiman kumuh nelayan Muara Angke menjadikan lokasi ini kerap menjadi penampungan sampah yang mengalir dari Sungai Angke.
Padahal suaka margasatwa ini menjadi lahan basah dan benteng terakhir Jakarta dari ancaman abrasi. 🙁
Terima kasih kepada Pakde Mbilung atas bantuan identifikasi beberapa spesies burung yang saya temui. 😀
Comments
82 responses to “Suaka Margasatwa Muara Angke, Hutan Mangrove Terakhir Jakarta”
bagus dab dan udah ada tracknya pulak …memang soal restribusi msh parah tuh walau instalasinya sdh bagus
jd pengen kesana nih, belum pernah ke tempat semacam itu selain gembira loka >:)
satwanya bagus2 yah…
aku baca posting ini jam 4 pagi. mudah banget buat salah mbaca buah pidada jadi buah dada :))
buah itu kalo di kalimantan kalo ngga salah dibuat jadi dodol.
Zamroni masih dgn gaya foto yg sama hahaha… :d
btw, di PIK ga mampir sekalian kerumah TW, yg ada ditengah2 padang golfnya…? 🙂
woooogh kowe kok ga ngajak-ngajak… 😮
ikut doooms kapan jengjeng lagi :d
tak kiro kowe saiki wis dadi jagoan tenan untuk mengidentifikasi marga satwa liar. jebul ada dukun dibalikmu toh. hihihihi… eniwei, tulisan yang sangat bermanfaat!!
ayo dikroyok ae iku penjaga gerbang e. masang tarip gak jelas ngono :-w
:((
masih menggayut tanya di kepala :
bagaimana cara melewati penjaga yang minta uang….
wekekekekkkk…masih dengan gaya yang sama foto kang zam ini..aku dah pernah kesini loh
wah kebangetan sekali kalau untuk masuk saja tidak boleh … bila perlu diperiksa saja tas kalau ada benda-benda terlarang yang mungkin dapat mengakibatkan bencana …
harusnya yang beginian jangan dibikin repot … bebaskan saja siapa yang mau berkunjung silahkan asal dengan aturan-aturan yang dibuat agar lokasi tetap terjaga, aman dan bersih …
rasanya lama-lama orang Indonesia merasa tidak berada di tanah air sendiri kalau begini …
uhuyyy..namaku tercantum di blognya Zam…
sayangnya gak sempat bakar2an ikan ya kmrn…hehe
Gile, mangrove terakhir…… semoga yang terakhir ini dirawat yak, btw poto ente kok kaya buaya sih yang di semak2
Ternyata Jakarta masih punya sisa sisa keindahan alami yg tak terexpose yaaa…!
Salam kompak slalu…
Heibat Anda menemukan ‘warisan’ yang belum tentu anak kita bisa ngeliat (apalagi cucu kita).
Entah ini perasaan saya atau tidak tapi aku kok sedih ngeliat burung dan biawaknya ya..
Kayak mereka itu bener-bener sedih smangkin terpepet gitu?
Btw brani terima tantangan saya? Menulislah soal komunitas gajah dan harimau sumatera yang semakin didesak manusia.
Ayo, Bung!
Bisa aja nih si Zam nemu tempat2 ajaib.
kasian betul itu penjaganya, mo nyari duit aja mesti malakin orang lewat 😀
hah? udah jalan2 lagih??? hebaaat….
haha.. rupanya ada bantuan dari pak ornitolog. saya tadi heran dan terkagum2 kok bung zam hapal spesies burung.. 😕
tapi saya selalu kagum dengan posting bung zam yg informatif dan memancing keinginan untuk terus jalan-jalaaaaaannnn….. siiiip… 🙂
— ngeselin juga insiden ongkos pemakaian kamera :-w
wah…jalan2 mulu nih si mas….fotonya itu lho……hhihihihi……
wah..kurang bersahabat ya penjaganya
btw gimana tuh negoisasinya
kok bisa nggak jadi bayar
buah dadanya masih hijau…eh buah pidada ya :d
mbok kalo jengjeng kik ngejak2 thooo…[-(
zam kok ga ngajak2 ke situ, sih, udah lama mau ke situuuu, tauuuuu!!!! huh [-( gak sukaaa iriiii liat foto2nyaaaaaaahhh [-(
mas saya kok penasaran caramu bernegosiasi nya gimana kok bisa tanpa keluar sepserpun dan bisa poto2 lagih.
poto pertama sayang gak pakai celana kunengnya hihihi
Saya baru tahu kalau di sana ada binatang unik seperti di foto paling atas…
Burung Kowak Malam itu mirip Heron ya?
@ Tongki:
sebenernya yang disebut heron itu burung Cangak Abu (Grey Heron), bentuknya kayak bangau itu. 🙂
@ komuter & geblek:
bernegosiasi dengan pasang tampang memelas. ;))
wah ku jd pengen kesanaaa…
emang enak klo jln2 ke tmpat yg msh alami. btw slm kenal yahh
AAAAGH! 🙁 Saya jadi kesel sama pemerintah Jakarta soal suaka margasatwa ini. Udah keberadaanya “disembunyikan”. Buat masuk kesana harus harus bayar “uang rokok” segala. beh! Gimana caranya bangsa kita mau belajar dari alam coba?
(kok diriku jadi sewot sendiri yah ?)
Waah.. itu kalo gak di jaga bisa diproyekin tu… bahaya.. hikikik…
Bisa2 gak terakhir lagi.. tapi Servis Over…
*opo to yo*
Kayknya mnarik tuh…
pgn kesana…
aku malah baru tahu kalau ada sesuatu yang “menarik” di jakarta? tapi kok jarang diliput di tipi yah kayaknya? :banghead
ini benar2 warisan leluhur yang patut dijaga!! :sniper
hidup Indonesia. :d
mas, kok tertulis “samsul arifin (Jakarta, Indonesia)”?
aku kan berada di Jogja, tahuuuu!!! :((
laporan yang lengkap. aku baru tahu kalo jakarta masih ada pohon hehe. beruntung banget ya ksana tanpa ngurus surat ijin. aku gak bisa bayangkan seumpama harus ke dephut gitu apa gak lama prosedurnya. mending sama tarzan bisa langsung masuk. oh… seandainya
mantab!!
jadi pengen kesana 😕
Waduh… ada Simaksi-nya ya? padahal baru baca judulnya, saya udah mau kesono..
Lalu kalo kawasan konservasi lainnya juga gitu? Kalo karimun jawa? ada rencana mo kekarimun jawa nih…
BTW Thx infonya mas…
loh ya loh ya.. ngunu yooo.. ndak tau ajak-ajak [-(
padahal wes ga malang-jogja loh… nggur blok-m sekitarnya wae kok ga tau ketemu opo diajak dolan sih aku 🙁
mw tw carany dunx…
kok bisa ga bayar??
males jg klo hrs ngurus k departemen perhutanan…
masa berwisata harus ijin tapi, nebang pohon ga ijin?:-?:d
gerakan narsis abis … masuk list untuk dikunjungin neh … thanks dab
halooo, kawan kawan muara angke,, kalo ad acara bilang bilang ya… ke KMPLHK RANITA :d
8-| kyeeen bwangt tmptny pkony yg g ksni rugi deh
:d ces maksudnya apa ini?????????????????????????????????:x8-|:o^^v
ah tadinya pengen berwisata kesana…. tapi karna katanya mesti pake surat ijin… nggak jadi deh…. capek deeeehh…. jauh2 dari bogor ntar nggak boleh masuk …. capek deeehhh…. capek deeeehhhh…… huhuuu….
ebad….jdi bnyak tw aq…
apakah benar harus ada surat2 gak jelas itu atau mereka mau minta duit aja ya?
cara negonya spy bisa masuk ke sana spt yg u lakukan, gmn ne bos?
untuk masuk Suaka Margasatwa dan Cagar Alam memang harus memakai surat ijin.
lebih baik Anda mengurus surat ijinnya aja, ya.. 🙂
haha.. ok2 makasih2..
saya sempet tanya2 ama bbrp fotografer yg pernah moto disana,emang hrs bikin surat izin tsn di jalan salemba, depok… T.T
ternyata masih ada tempat beginian di jakarta…. awas lo kegusur ama apartemen
apha masuknya harus pake surat ijin ?
saya pengen bgt bikin film dokumenter tentang ini, tapi kenapa masuknya susah bgt ?
kalo pelajar gitu, boleh masuk tanpa surat ijin gak ? aduuhh. . tolng di repp iah. penting bgt. makasihh ,,
Sebenernya untuk masuk kawasan konservasi (Taman Nasional, Suaka Margasatwa, dan Cagar Alam) memang harus ada Simaksi (Surat Ijin Masuk Kawasan Konservasi).
Mengurussnya sebenernya mudah, cuma butuh fotokopi KTP, menyebutkan keperluan dan jumlah peserta, kemudian datang ke Balai Taman Nasional Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam di Jalan Salemba Raya, Jakarta Pusat.
Selama tujuannya bagus, tidak ada slahnya dicoba. Siapa tau dengan berbekal Simaksi, siapa tau kamu malah dibantu oleh petugas di kawasan konservasi.
salam kenal nich ….
Mau tanya nich jeng2 hari sabtu kan ak mau kesna
kira2 harus pakai simaksi ga ya ….
tolong jawaban secepatnya ya n kirim ke email ak
thank lho bermanfaat buanget
harusnya pakai Simaksi. 🙂
Suaka alam minus ma’lum lah mas, biar kliatan msh ada yg dipertahankan dr wilayah “suaka alam sesungguhnya” yg entah dgn cara gimana bisa jadi “suaka manusia”. Monyetnya aja udah jalan2 ke perumahan di pik, soalnya udah ngga kebagian makanan di habitatnya.
emang bener harus ada ijin dr dept kehutanan yah klo mo kesitu?? walau cm wisata aja??
pliss infonya yah mas..aku mo kesana jg ama tmn2…
thanks yah…. 🙂
lho jadi volunteer suaka marga satwa muara angke jg toh…… Iya kalo mau kesana harus punya SIMAKSI dari BKSDA. Tapi wat info lebih lengkap bisa hubungi ke JGM (Jakarta Green Monster) juga. tapi waktu aq kesana lagi ada workshop fotografi lho…. pokoknya kalo mau tau banyak tentang info kegiatan disana hub aja JGM.
itu masuk pantai indah kapuknya bayar? lho, kok gitu? terus ada apa aja di sana mas? pengen ke sana deh tp ga pernah kesampaian
salam kenal mas…
keren artikelnya
silakan berkunjung
http://lentrasystems.blogspot.com/
masuk PIK ndak mbayar. masuk Suaka Margasatwa juga harusnya gak bayar, yang dibutuhkan cuma SIMAKSI (Surat Ijin Masuk Kawasan Konservasi) yg kudu diurus di Dephut di Salemba.
kalau monyet ekor panjang jadi primadonanya, kenapa malah tidak nampak ya?
monyetnya udah pada kejalanan cari makan…
seharusnya tempat-tempat seperti itu harus dilestarikan dan di jaga kebersihannya
wah seru jg ya wisata alam k sana..tp knp perlu ada perijinan yg ga jelas gtu ya??ap skrg ini msh berlaku?jgn2 tu hanya pungli…slm knal http://henryaja.wordpress.com
wah itumah oknumya nakal bgt
masa wisata lokal kudu bayar yg nga….-2
thumbup….!!!!
visit me ok…
fmipa unand
persyaratan pembuatan simaksinya gimana ya?
Datang ke kantor yang ada di Salemba dan ngisi formulir. 😀
hikss .. malay sekali urus-urus di salemba
kemaren tanya tmn di pesbuk, dia masuk kena 80-100rb.
Ouemjiii … ini lebih bikin males 😐
sekrang disana sudah gk terurus lagi karena pada rusak dan satwa2-nya juga udah pada tahu kemana karena senen 31 Januari 2011 saya beerkunjung kesana pohon2 pada tumbang nimpa jembatan dan hutannya bakaunya udah mulai berkurang
kalo gk pake simaksi, kira2 bisa masuk gk????
Memang petugas keamanan dinegara kita ini banyak yang kurang ajar. Saya juga pernah mengalami pengalaman yang sama di Taman kota 2 tangerang. Waktu itu saya dengan anak-anak sekolah hendak berdarmawisata kesana. Aku membawa kamera. Kamipun dihalangi oleh petugas, lalu kami dimintai uang 750,000 rupiah. Padahal tujuan kami tidaklah komersil, melainkan sedang memberikan latihan photography kepada murid-murid kami. Akhirnya kami membatalkan pelatihan kami oleh karena tidak mungkin kami membayar uang sebesar 750,ooo rupiah hanya untuk masuk ketaman yang seharusnya disediakan oleh pemerintah kota sebagai taman hiburan yang bebas biaya itu.
kayanya ok jga tmpatnya,,,,
kalo mau ngajak siswa buat bljr disitu gmn y???
saya tadinya excited bgt liat cerita dan foto2 ttg hutan mangroove. tadinya pengen bgt kesana tapi pas diliat ternyata birokrasinya ribet jadi lemes deh.hehehe
Sekolah saya-Sekolah Dian Harapan, Daan Mogot, sangat dekat dengan tempat itu. Kebetulan kami ada pelajaran tentang laut. Ingin rasanya mengajak murid2 ke sana. Sudah bosan kalau berdarmawisata tentang laut selalu ke Sea World. Tapi….melihat ribetnya birokrasi…bisa enggak ya?
Apa yang harus dipersiapkan untuk murid2, ya?
Ada pemandu wisatanya?
mau nanya nih kak, sebenernya kalo ngga pake SIMAKSI bisa masuk ngga sih?
kaka, saya salah satu anggota dari pecinta alam SMAN 21 jakarta. saya pengen nanya dong, kalo mau nanem pohon bakau nyari bibitnya dimana ya?? trus harus ada izin ga??
kalo di kepulauan seribu, ada ga pulau yang jadi tempat konservasi hutan manggrove??
seneng nya liburan yang lagiu liburan ….
wah itu bukan sonneratia caesolaris eh tp kg terlihat juga sih merahnya, s. alba sih klo dilihat..salam mangrove,
sebenarnya petugas hanya menjalankan tugas..untuk menjaga kawasan agar tetap lestari juga perlu biaya yang tidak sedikit..pungutan untuk kamera memang ada diatur di peraturan perundangan….
apa salahnya membayar kalau uang yang kita keluarkan dari saku kita toh juga akan dikembalikan untuk pelestarian kawasan???
Masih mending pungutan hanya segitu..kalau kita traveling ke tempat yang berjarak jauh, biaya yang akan kita keluarkan pasti juga akan besar kan?mau ngga mau akan keluar biaya untuk kendaraan darat,laut ataupun udara..apakah kita keberatan untuk membayar jasa ini?..
ckckck….
yah, tapi kan kalo emang harus bayar, seharusnya ada pemberitahuan tentang retribusi tertulis. kalo gak begitu, mana tau masuk kemana itu duit. lagi juga, petugas disitu juga pasti kan di bayar, kalo kurang yah mbok cari pekerjaan lain tapi jangan sampe merugikan pengunjung yang berujung merusak nama baik tempat konservasi tersebut akibat oknum tdk bertanggungjawab.
[apa salahnya membayar kalau uang yang kita keluarkan dari saku kita toh juga akan dikembalikan untuk pelestarian kawasan???
Masih mending pungutan hanya segitu..kalau kita traveling ke tempat yang berjarak jauh, biaya yang akan kita keluarkan pasti juga akan besar kan?mau ngga mau akan keluar biaya untuk kendaraan darat,laut ataupun udara..apakah kita keberatan untuk membayar jasa ini?..
ckckck….
Trie Wien’s — 7 December 2011 12:03:23]
kalau memang untuk pelestarian yah memang harus ada retribusi tertulis supaya nggak malah dibeliin rokok buat petugasnya.
-trie wien’s tampaknya seorang oknum petugas pungli-