Sang Nila Utama dari Sriwijaya mendarat di sebuah pulau kecil pada tahun 1324. Di pulau tersebut, dia melihat seekor harimau dan bertanya kepada perdana menterinya apa nama hewan tersebut. Sang perdana menteri menjawab itu adalah seekor singa, dan ini adalah awal kisah dari nama Singapura.
Cerita di atas saya dapatkan ketika saya menjelajahi Fort Canning Park, kawasan taman nasional yang dikelola oleh pemerintah Singapura. Bukit kecil setinggi 60 meter yang terletak di sebelah selatan pulau kecil ini merupakan lokasi bersejarah yang menjadi tonggak berdirinya negara Singapura.
Fort Canning Park dapat dicapai dengan mudah menggunakan sarana transportasi umum. Bila naik MRT kita bisa turun di stasiun Dhoby Ghaut (NE6 & NS24), City Hall (EW13 & NS25), atau Clarke Quay (NE5) kemudian jalan kaki sekitar 10 menit. Jika naik bus, ada lebih banyak pilihan halte untuk turun.
Sejarah Singpura sendiri terbagi menjadi 2, yaitu masa kerajaan Melayu pada abad ke-14 dan masa modern pada abad ke-18. Fort Canning Park, yang dulunya bernama Bukit Larangan pada abad ke-14 menjadi saksi sejarah penting Singapura.
Perjalanan saya menjelajahi Fort Canning Park berawal dari lobi Hotel Fort Canning (The Legends) yang terletak di dalam kawasan taman. Kita bisa mengikuti tur Park Walking setiap Sabtu pagi yang rutin diadakan oleh pengelola hotel secara gratis untuk tamu-tamunya.
Terdapat display kaca yang terletak di lantai lobi, berisi benda-benda peninggalan yang ditemukan dari penggalian di taman. Ada 4 kolom yang terbagi menjadi 2 panel, panel pertama berisi benda-benda peninggalan pada abad ke-14 dan panel kedua berisi benda-benda peninggalan abad ke-18.
Panel pertama banyak ditemukan pecahan tanah liat yang dulunya berupa perabotan rumah tangga semacam piring dan tembikar. Pada panel kedua juga tak jauh berbeda, namun lebih beragam, mulai ditemukan pecahan keramik dan botol minuman.
Kami kemudian keluar hotel dan menuju ke atas bukit yang disebut dengan Bukit Larangan. Tembok tua tampak menyembul terselimuti lumut dan tanaman rambat, ini adalah tembok benteng yang dibangun pada tahun 1859, pada masa pemerintahan Stamford Raffles. Pada tahun 1861, Bukit Larangan diubah namanya menjadi Fort Canning, untuk menghormati Gubernur Jendral Hindia saat itu, Lord Charles John Canning.
Benteng Fort Canning ini merupakan salah satu bagian dari sistem pertahanan Singapura. Benteng-benteng lainnya adalah Fort Fullerton, Fort Palmer, Fort Teregah, dan Fort Faber.
Bukit Larangan sendiri diduga dulunya merupakan pusat pemerintahan kerajaan Melayu kuno yang didirikan oleh Sang Nila Utama, dari Sriwijaya, seperti yang tertuang pada paragraf pertama. Kerajaan kecil ini kemudian hancur setelah diserang Siam (Thailand), sempat dikuasai oleh Majapahit, dan akhirnya takluk di tangan Portugis.
Kami berjalan mengelilingi tembok benteng melalui jalan setapak yang rapi menuju ke The Gate of Fort Canning. Di pintu gerbang ini terdapat lubang sempit dengan tangga menanjak untuk menuju ke bagian atas gerbang. Pintu ke atas sengaja dibuat sempit demi mempersulit musuh naik ke atas.
Di dalam benteng seluas kurang lebih 3 hektar, terdapat beberapa fasilitas pendukung. Pada tahun 1867, terdapat tujuh meriam berpeluru 68 pon, delapan meriam 8 inchi, dua meriam katak 13 inchi, dan beberapa senapan 14 pon, barak-barak tentara, rumah sakit, gudang mesiu, serta bunker-bunker bawah tanah.
Bunker bawah tanah tersebut pun masih ada, namun untuk masuk pengunjung harus membeli tiket khusus. Tamu Hotel Fort Canning bisa masuk dengan gratis selama bisa menunjukkan kartu kamar. Sayangnya, saya tidak sempat masuk dan menjelajahi bunker ini.
Kini di dalam benteng, dibuat taman dan jalan-jalan setapak yang nyaman digunakan untuk olah raga pagi atau sekadar duduk-duduk menikmati segarnya udara pagi.
Sepanjang jalan kami disuguhi suara kicau burung. Maklum saja, kawasan ini memang sengaja dibuat sebagai kawasan konservasi. Bahkan saya sempat melihat dua ekor tupai berloncatan dari atas pohon di dekat hotel.
Pemandu kami, Amy, bercerita dan menunjukkan beberapa spesies vegetasi yang sebenernya banyak terdapat di Indonesia, misalnya saja pohon beringin, pohon kapuk randu, pohon kayu putih, tanaman sereh, tanaman cabe, hingga pohon pisang!
Pasangan turis dari Selandia Baru langsung takjub melihat aneka vegetasi yang mungkin jarang dilihat di negaranya, sedangkan saya cuma senyum-senyum kecut. Sekali lagi, pemerintah Singapura memang begitu pandai dengan melakukan pemeliharaan hal-hal semacam ini, kemudian dijual untuk obyek wisata. Sesuatu yang mungkin diabaikan oleh pemerintah kita di Indonesia.
Selain mengkonservasi tanaman, pemerintah Singapura juga memfasilitasi kegiatan seni di Fort Canning. Sebuah art-workshop dibangun di dalam taman untuk menjadi sarana seniman-seniman lokal berkreasi dan memanfaatkan kayu-kayu dari pohon tumbang di sekitar taman menjadi karya seni.
Fasilitas penting yang masih digunakan di Fort Canning adalah Water Reservoir. Kolam penampungan air ini dibangun pada abad ke-14 oleh kerajaan Melayu sebagai sumber air minum dan membantu suplai air ke kanal-kanal di sekitar benteng. Pada masa pemerintahan Raffles, kolam penampung air ini tetap digunakan sebagai sumber air minum tentara.
Pada saat pemugaran pada tahun 1926, ditemukan perhiasan emas peninggalan Majapahit dengan ciri gambar kepala Kala, yang kini disimpan di National Museum of Singapore yang tak jauh dari situ.
Kami tiba di sisi selatan taman, yang disebut dengan Raffles Terrace. Di sini terdapat mercusuar kecil yang disebut dengan Fort Canning Lighthouse, terletak di puncak bukit, yang pada zamannya merupakan salah satu dari 13 mercusuar penting di Selat Malaka, yang berfungsi untuk memandu kapal-kapal yang hendak masuk ke pelabuhan Singapura dan muara Sungai Singapura, yang kini dikenal dengan Marina Bay.
Menara mercusuar ini merupakan menara replika dan masih bisa menyala, namun tidak digunakan sebagai panduan. Menara mercusuar dibangun oleh perusahaan konstruksi Riley, Hargreaves & Co. pada tahun 1903, menggantikan fungsi Flagstaff yang terletak tak jauh lokasi menara.
Menara ini pada zamannya dinyalakan dengan menggunakan kerosin, menghasilkan kekuatan cahaya sebesar 20.000 CD (candlepower) yang mampu mencapai jarak hingga 33 kilometer. Menara ini menggunakan sistem penggerak dioptric occulting yang membuat cahaya terlihat selama 17 detik, kemudian padam selama 3 detik, dan menyala kembali selama 17 detik. Pada Desember 1958, Menara ini kemudian dinonaktifkan seiring dengan dibangunnya gedung-gedung tinggi di sekitar Marina Bay.
Flagstaff dan Time Ball yang terletak beberapa meter ke barat dari mercusuar, juga memiliki peranan penting di zamannya. Flagstaff merupakan tiang dengan dipasangi beberapa bendera warna-warni. Isyarat panduan dikirimkan ke kapal dengan menaikkan atau menurunkan bendera, sesuai dengan perintah yang hendak dikirim.
Time Ball memiliki fungsi melakukan sinkronisasi waktu. Setiap pukul 12:55, bola akan dinaikkan ke atas untuk kemudian dijatuhkan tepat pada pukul 13:00 dan berbunyi nyaring pertanda bahwa sudah saatnya jam-jam disinkronisasi.
Di sekitar Raffles Terrace ini lah dulu orang-orang Eropa, Cina, dan Melayu berekreasi melihat pemandangan laut. Saya pun bisa melihat Marina Bay dari sini dengan landmark Hotel Marina Bay Sands.
Di sekitar sini pula dulu terdapat rumah tinggal Stanford Raffles yang dibangun pada tahun 1822, yang kini sudah tidak ada karena terbuat dari kayu dan lapuk. Untuk menandai lokasi bersejarah ini, dibangunlah bangunan lain di lokasi yang ditengarai lokasi asli rumah tinggal Raffles tersebut.
Dari Raffles Terrace, tur berlanjut menuju ke sebuah tembok berelief yang menceritakan sejarah Singapura sebelum era kolonial. Tembok relief ini bukan peninggalan sejarah, tapi sengaja dibuat pada tahun 1994, didesain oleh Eng Siak Loy dan dipahat oleh Villa Frangipani.
Fragmen-fragmen relief bercerita tentang awal ditemukannya Bukit Larangan, dilanjutkan dengan pembangunan istana kerajaan Melayu di atas bukit, kerajaan Melayu diserang oleh kerajaan Siam (Thailand), penguasaan Majapahit atas kerajaan Melayu di Singapura, kemakmuran perdagangan di Singapura karena posisinya yang strategis, sebuah kolam untuk mandi putri kerajaan yang disebut dengan Pancur Larangan, raja Prameswara melarikan diri karena kerajaannya diserang pada tahun 1396, raja Prameswara yang melarikan diri membangun Malaka dan menguasai perdagangan di Malaka, dan fragmen terakhir bercerita tentang datangnya orang-orang Eropa ke semenanjung Malaka.
Perjalanan dilanjutkan menuju ke situs penggalian arkeologi Fort Canning. Proses ekskavasi dimulai pada tahun 1984, di mana banyak ditemukan artefak berupa pecahan-pecahan perabot rumah tangga, mulai dari abad ke-14 hingga abad ke-18. Beberapa pecahan-pecahan ini dipajang di lobi Hotel Fort Canning, dan sisanya dipajang di sekitar lokasi situs.
Artefak-artefak ini dibiarkan dipajang di ruang terbuka tanpa takut dirusak. Kenapa bisa tidak hilang dicuri orang? Karena pecahan-pecahan tembikar ini “tidak berharga”. Benda-benda peninggalan arkeologi akan berharga bila kondisinya masih utuh. Benda-benda yang masih utuh ini disimpan di National Museum of Singapore.
Dari situs penggalian, kami berjalan menuju ke Spice Garden yang diresmikan pada tahun 1994 untuk meneruskan taman botani pertama yang ada di Fort Canning pada tahun 1822. Di taman ini, banyak ditemukan tanaman rempah yang banyak juga ditemukan di Indonesia, semacam tanaman cabe rawit, sereh, jahe, kayu manis, hingga daun mint.
Dari Spice Garden, tempat terakhir yang kami kunjungi adalah Fort Canning Green yang dulunya adalah makam Kristen pertama yang dibangun pada tahun 1846. Pada tahun 1994, semua jenazah dipindahkan dan dikremasi, kemudian batu-batu nisan ditempelkan di tembok. Sebelum masuk ke kawasan ini, kita akan melewati Gothic Gate yang menjadi pintu gerbang makam bertuliskan IHS, kependekan dari Iota Heta Sigm,yang berarti Yesus dalam bahasa Yunani.
Kini Fort Canning Green menjadi lokasi pertunjukkan. Terdapat panggung tepat berada di tengah lapangan luas, dengan latar belakang gedung Fort Canning Center yang dulunya merupakan barak tentara.
Tak terasa sudah satu jam lebih kami mengelilingi Fort Canning Park. Kami pun kembali ke Hotel Fort Canning, yang gedungnya juga dulunya merupakan barak tentara, untuk sarapan. 🙂
singapura itu milik orang melayu. Tapi kog yg berkuasa bukan orang Melayu ya?
salam kenal.
kho yang berkuasa nya bukan orang2 melayu sich??
aneh
cara mengemasnya bagus banget. padahal kalo dibandingin sama Indonesia, kita punya banyak taman yang lebih indah, lebih luas, dan lebih beraneka-ragam tanamannya. tapi ya itu, orang Singapura lebih jago bikin bungkusnya. :(