Jeng-Jeng Suramadu

Jeng-jeng Suramadu

Madura ndak hanya terkenal dengan karapan sapi, clurit, carok, dan ramuan Maduranya. Meskipun gersang, Madura menyimpan potensi wisata yang sayangnya kurang mendapat perhatian.

Saya berkesempatan untuk jeng-jeng mengelilingi pulau yang mempunyai luas 4.250 km2 ini. Sumenep, kabupaten yang terletak di ujung timur pulau ini menjadi tujuan kami.

Saya dan Mas Iman berangkat menuju Surabaya. Di Surabaya, kami bertemu Fahmi dan Angki di Bandara Juanda. Namun sayangnya hanya Fahmi yang bersedia bergabung dengan kami.

Perjalanan pun dimulai. Kami harus menyeberang menggunakan kapal feri dari Pelabuhan Ujung di Surabaya untuk kemudian mendarat di Kamal, Madura. Jembatan Suramadu masih belum selesai, sehingga menyeberang menggunakan kapal adalah satu-satunya jalan untuk sampai ke Madura.

Untung saja, begitu masuk ke pelabuhan kami langsung naik ke atas kapal. Pada waktu-waktu tertentu terutama ketika liburan, antrian di kedua pelabuhan ini bisa mencapai 2 km bahkan lebih.

Monumen Jalasveva Jayamahe

Dari atas kapal, di sebelah galangan kapal PT PAL, sayup-sayup terlihat Monumen Jalasveva Jayamahe (Monjaya) berdiri tegak menjulang di antara kapal-kapal tempur TNI AL yang berlabuh.

Patung yang berada di atas gedung museum ini menggambarkan sosok seorang kolonel TNI AL berpakaian dinas resmi dengan tangan kanan dalam posisi berkacak pinggang dan tangan kiri menahan pedang komando. Tatapan matanya ke arah laut lepas menggambarkan masa depan negara Indonesia berada di lautan.

Bila mengingat, memang sudah seharusnya Indonesia yang merupakan negara kepulauan ini memperkuat lini kekuatan maritimnya. Namun sayang, kenyataannya kekuatan maritim kita sangatlah lemah. πŸ˜€

Monumen ini dibangun pada tahun 1990 dan baru dibuka pada tanggal 5 Desember 1996. Patung ini didesain oleh Nyoman Nuarta, desainer yang tinggal di Bandung, yang juga mendesain patung Garuda Wisnu Kencana di Jimbaran, Bali.

Tinggi total bangunan adalah 60 meter, yaitu 30 meter tinggi bangunan museum dan 30 meter adalah tinggi patung. Ndak tanggung-tanggung, konon monumen ini merupakan monumen tertinggi kedua setelah patung Liberty di New York, yang tinggi totalnya 85 meter itu. Jika saja tangan si Liberty ini ndak ke atas ngangkat obor, bisa jadi tinggi kedua patung ini sama! ;))

Kata β€œjalasveva jayamahe” sendiri merupakan slogan dari TNI AL yang berarti β€œdi laut kita jaya”.

Sumenep, Eksotisme Ujung Timur Madura

Sekitar 30 menit kami menyeberang, kami tiba di Pelabuhan Kamal timur. Dari Kamal, kami menuju ke Sumenep melalui jalur selatan dengan menggunakan mobil, melewati Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan berakhir di Sumenep.

Memasuki daerah Sampang dan Pamekasan, di beberapa ruas jalan, kami melihat langsung laut Selat Madura yang berada persis di sisi jalan. Pemandangan ini sungguh luar biasa dan sangat cantik! Laut berwarna hijau kebiruan mendominasi pandangan hingga garis horizon.

Gerbang Masuk Asta Tinggi

Setelah menempuh perjalanan selama 3 jam, kami sampai di Sumenep dan langsung menuju ke Asta Tinggi, kompleks makam raja-raja dan bangsawan Kerajaan Sumenep.

Sumenep merupakan satu-satunya daerah yang masih menyisakan bangunan kraton di Madura. Ini tak lepas dari keberadaan Kraton Mataram Islam yang akhirnya terpecah menjadi Kraton Surakarta dan Yogyakarta.

Di kompleks Asta Tinggi ini terdapat makam raja-raja Sumenep dan para pendahulunya, antara lain makam Tumenggung Tirtonegoro, R.A. Tirtonegoro, K.R.A.T. Notokusumo, dan R.A. Pangeran Kornel.

Ada 3 blok di dalam kompleks makam ini, namun yang paling menjadi daya tarik dari kompleks ini adalah gerbang utama dan bangunan Kubah Panembahan Sumolo, yang melindungi makam keluarga Notokusumo, pendiri kerajaan Sumenep, yang bercorak arsitektur Eropa, Hindu, Jawa, dan Madura.

Di sekitar kubah bertebaran nisan-nisan dari keluarga atau kerabat kerajaan. Batu nisan yang ada di makam ini beberapa ada yang tua, yang terlihat dari bentuk nisan dan corak ukiran nisannya.

Asta Tinggi

Ketika kami datang, banyak peziarah yang sedang melayangkan doa, membaca surat Yasin dan tahlil dengan khusyuk dan khidmat. Mereka duduk menghadap ke batu nisan berwarna kuning bercorak hindu yang di kedua ujung nisannya dibalut kain berwarna merah atau kuning.

Dari Asta Tinggi, kami menuju ke kompleks kraton Sumenep di pusat kota. Kompleks kraton yang mungil ini kini digunakan sebagai kantor dan rumah dinas bupati Sumenep.

Pola tata kota kerajaannya mirip dengan tata kota kerajaan di Jogja/Solo. Sebuah alun-alun, masjid agung, pasar selalu melengkapi kraton sebagai pusat pemerintahan.

Gerbang Kraton Sumenep

Yang menarik, arsitektur kraton ini merupakan perpaduan arsitektur Hindu, Jawa, Eropa, dan Cina. Arsitektur Cina nampak dari ujung-ujung atap joglo yang merupakan ciri arsitektur Jawa. Beberapa corak ornamen Hindu berpadu dengan sistem pilar pada arsitektur Eropa. Sebuah perpaduan yang cantik.

Di salah satu sudut, terdapat Taman Sare yang awalnya saya kira adalah pemakaman, karena kata “sare” di sini bisa berarti “tidur” atau “makam (sarean)”. Rupanya Taman Sare adalah Taman Sari, kolam pemandian putri-putri kraton. Meski kolam ini tidak dipakai, namun airnya tetap mengalir karena kolam ini merupakan sumber air.

Taman Sare

Ada lagi yang unik. Di halaman, terdapat 2 pohon yang terkenal dengan pohon laki dan perempuan. Kedua pohon ini letaknya terpisah, yang laki-laki di sebelah timur dan yang perempuan di sebelah barat. Kenapa disebut pohon laki dan perempuan, karena ada bagian pohon ini yang berbentuk seperti alat kelamin laki-laki dan perempuan.

Dari kraton Sumenep, kami bergerak menuju kota untuk mencari penginapan. Ndak mudah rupanya mencari penginapan di kota ini. Kami hanya menemukan 3 penginapan yang berada di jalan protokol kota Sumenep.

Setelah mendapat penginapan sederhana dan menaruh pantat sejenak, kami pun bergerak ke pusat kota untuk melihat kehidupan kota ini di malam hari. Kami menuju alun-alun kota yang bernama Taman Adipura. Taman ini begitu bersih dan rapi.

Terlihat masyarakat banyak yang duduk bercengkrama dan berbincang bersama rekan, keluarga, dan sahabat. Beberapa orang nampak duduk sambil membuka laptop. Rupanya di sekitar taman ini disediakan wi-fi gratis! Hohoho… Mantab juga!

Meski di beberapa sudut terpampang tulisan dilarang berjualan di sekitar taman, namun para pedagang tetap saja menggelar dagangannya. Para pengunjung pun senang karena mereka bisa menikmati suasana tanpa khawatir perut kelaparan.

Ada aja barang yang dijual. Mulai dari makanan, mainan, pakaian, hingga penjaja kereta kelinci berwarna-warni yang untuk menggerakkannya si pengemudi harus mengayuh. Dugaan saya sih, itu sebuah becak yang dimodifikasi. Para pedagang menggelar dagangan di atas terpal dan tikar. Ramai seperti pasar malam begitulah.

Kereta kelinci yang dikayuh

Saya tertarik dengan seorang penjual jagung bakar yang membakar jagung berukuran kecil-kecil dengan menggunakan arang yang berada di atas wajan. Seribu rupiah bisa dapat 3 buah, namun sayangnya jagungnya keras dan tidak enak dimakan. Selain karena terlalu gosong, mungkin kualitas jagungnya juga kurang baik mengingat gersangnya tanah di Madura ini.

Subuh-subuh kami sudah berangkat dari penginapan. Tujuan kami adalah mengejar sunrise di Pantai Lombang. Prediksi waktu kami meleset, karena ketika kami sampai di Pantai Lombang, matahari sudah terbit cukup tinggi. Kami lupa bahwa kami berada di timur, sehingga waktu berjalan lebih cepat dari Jakarta.

Pantai Lombang sendiri sangat bersih. Hanya terlihat sampah organik semacam buah kelapa dan kayu-kayu atau ranting yang terdampar karena terbawa ombak pasang semalam.

Subuh di Pantai Lombang

Pasir putihnya yang halus membuat saya melepas sandal dan merasakan butiran-butirannya menyentuh kulit kaki saya. Tak lengkap rasanya kalo belum mencelupkan kaki ke air laut.

Pantai ini persis menghadap ke Laut Jawa dan seperti ciri khas pantai di Laut Jawa, ombaknya kecil-kecil. Di kejauhan nampak beberapa kapal tengah berada di laut lepas.

Keunikan pantai ini adalah pantai ini satu-satunya yang ditumbuhi pohon cemara udang (Casuarina equesetifolia). Pohon-pohon ini banyak digunakan untuk dibuat bonsai, terlihat dari beberapa calon bonsai yang sedang dibudidayakan di sekitar pantai ini.

Dari Pantai Lombang, kami menuju ke Masjid Agung Sumenep. Masjid yang dibangun oleh Panembahan Sumolo alias Panembahan Notokusumo I raja Sumenep pada tahun 1763 Masehi ini memliki tatanan yang mirip dengan tatanan masjid di Jogja dan Solo.

Sebuah gerbang di depan, bangunan kecil di halaman pada samping kanan-kiri (di Jawa, bangunan ini bernama Pagongan, tempat meletakkan gamelan pada acara Sekaten), serambi, dan bangunan utamanya dapat ditemukan mirip dengan masjid besar di Jawa.

Pola arsitekturnya lagi-lagi merupakan perpaduan nuansa Eropa, Jawa, Arab, dan Cina. Unsur arsitektur Cina ini menarik karena rupanya masjid ini diarsiteki oleh Lauw Piango, cucu dari Lauw Khun Thing yang merupakan satu dari enam orang Cina yang mula-mula datang dan menetap di Sumenep. Lauw Piango juga lah yang mengarsiteki bangunan kraton Sumenep.

Berpola atap bertingkat ke atas sebanyak 3 buah, meniru atap Masjid Agung Demak, dengan pilar-pilar beton bergaya Eropa, dan warna kuning-hijau cerah ala Cina menjadi ciri khas bangunan masjid.

Gerbang Masjid Agung Sumenep

Saya sangat tertarik dengan gerbang masjid ini. Ragam pola ornamennya begitu cantik. Terkesan lebih cantik daripada masjid utamanya yang lebih sederhana ornamennya.

Kunjungan kami ke Masjid Agung Sumenep ini menjadi obyek wisata kami terakhir di Sumenep. Kami akan bertolak ke Surabaya melalui jalur utara yang lebih berkelok dan berbukit-bukit.

Kami lewat sebentar di Pantai Selopeng, yang mempunyai keistimewaan gunung pasir (sand dune). Warna hijau-biru air laut masih menjadi daya tarik utama selain perahu-perahu cadik tradisional Madura.

Trivia Sumenep

Rute utara ini lebih menarik karena garis pantai yang mepet ke jalan raya lebih panjang. Akibatnya sepanjang perjalanan mata kami dimanjakan warna hijau-biru laut. Beberapa kali kami melintasi jembatan di mana pada muara sungainya tertambat perahu-perahu cadik tradisional Madura.

Selama di Sumenep, saya sering melihat kuburan yang terletak berserakan. Ada beberapa yang berada persis di tepi jalan raya, ada juga yang berada tepat di halaman rumah penduduk. Rata-rata makam-makam ini terdiri dari 1-2 buah nisan.

Lapangan voli juga beberapa kali saya lihat. Hampir di tiap desa pasti ada satu lapangan yang di kelilingi pagar dari jala untuk menghalau bola keluar dari lapangan. Entah kenapa lapangan bola hampir tidak saya lihat kecuali di kompleks sekolahan.

Menurut pengakuan Pak Didi, driver kami yang asli Madura, di Madura ini bahkan tidak terdapat bioskop. Kehadiran VCD/DVD bajakan rupanya bisa menggeser bioskop dalam memenuhi kebutuhan hiburan masyarakat di sini.

Di dunia kuliner, rasa masakan Madura sangat minim bumbu atau racikan bumbunya sederhana. Nasinya umumnya pera (agak keras), mungkin karena faktor tanah yang gersang sehingga kualitas padinya kurang begitu bagus.

Rawon Madura

Menu kuliner yang berkesan menurut saya adalah menu rawon yang berbeda dengan rawon di Jawa. Rawon di Madura yang dijual di tepi jalan Tanah Merah ini lebih mirip soto, karena ndak menggunakan kluwek sebagai salah satu bumbu. Warnanya tentu saja menjadi tidak hitam. Lauknya pun sangat sederhana, potongan usus sapi besar, daging, dan paru yang digoreng kering dan asin, dilengkapi sejumput sambal.

Surabaya, City of Heritage

Yang saya suka dari Surabaya adalah banyaknya bangunan tua peninggalan Belanda yang terawat dan bahkan difungsikan. Beda sekali dengan kawasan Kota Tua di Jakarta dan Kawasan Kota Lama Semarang yang terkesan mangkrak dan tak terawat.

Salah satu pemanfaatan bangunan tua yang keren adalah Museum House of Sampoerna. Bangunan yang dibangun pada tahun 1862 ini dulunya adalah panti asuhan sebelum dibeli oleh Lee Sem Tee, pendiri perusahaan rokok H.M. Sampoerna, pada tahun 1932 untuk dijadikan pabrik rokok.

House of Sampoerna

Ada 3 bangunan utama di komplek ini, bangunan utama dipakai sebagai museum dan pabrik rokok Djie Sam Soe, bangunan di sisi timur, dan di sebelah barat. Sisi timur digunakan sebagai kafe dan galeri, sedangkan bangunan di sisi barat merupakan rumah pribadi keluarga Lee Sem Tee.

Museum terdiri atas 2 lantai, lantai pertama terbagi atas 3 ruangan dan di lantai atas terdapat toko suvenir. Dari lantai atas kita bisa melihat langsung aktivitas pekerja pabrik yang sedang melinting rokok Dji Sam Soe pada hari kerja.

Kata Djie Sam Soe yang berarti angka 234 ini rupanya bermakna komposisi racikan tembakau, cengkeh, dan bahan lain untuk menyusun rokok. Sedangkan kata “Fatsal-5” bermakna resep racikan nomor 5. Pada Djie Sam Soe Premium, fatsalnya nomer 9. πŸ˜€

Selain heritage, yang saya suka dari kuliner Surabaya adalah menu bebeknya. Menurut saya, masakan bebek Surabaya ini cita rasanya lebih mantab. Kami mampir ke warung nasi Bebek Kayu Tangan berdasarkan panduan dari Fahmi.

Four Faces Buddha

Pagi-pagi kami bergegas menuju Kenjeran Park. Bukan, bukan, kami ndak mengunjungi pantai Kenjeran yang kotor itu, tapi kami hendak menuju ke Patung Four Faces Budha (Budha berwajah empat).

Patung setinggi 9 meter berwarna emas ini berada di dalam sebuah kubah setinggi 36 meter, dengan alas persegi dengan panjang sisi 9 meter. Angka 9 merupakan angka yang memiliki makna di ajaran agama Budha.

Berada di lokasi ini membuat saya serasa berada di Thailand. Dan memang, di pusat kota Bangkok, terdapat patung serupa yang disebut Thao Maha Brahma.

Empat wajah Budha ini memiliki 4 makna, yaitu kesabaran, kebebasan, keadilan, dan ketenangan. Empat pasang tangan kanan masing-masing memegang dada, cawan air suci, tongkat, piringan, kitab suci, senjata, dan tasbih.

Di sekitar patung ini dapat kita temukan 4 patung gajah berwarna putih yang berdiri pada bunga lotus, patung Ganesha, tempat meditasi, dan 3 kolam air bermotif bunga lotus.

Di seberang patung ini, kami masuk ke Sanggar Agung (Hong San Tang), sebuah klenteng unik yang memadukan arsitektur Hindu-Bali dengan Cina. Awalnya saya bahkan mengira klenteng ini adalah pura.

Memasuki halaman klenteng, kita akan disambut dengan lambang yin-yang yang tergambar di lantai dan kolam berornamen bunga lotus. Di dalam klenteng, terdapat beberapa altar dan patung-patung untuk beribadah umat Tri Dharma (Konghucu, Tao, dan Budha).

Gerbang laut Sanggar Agung

Yang paling menarik buat saya adalah halaman belakang dari klenteng ini. Di sini terdapat sebuah gerbang dengan patung dewi Kwan Im yang langsung mepet ke laut. Seolah-olah gerbang ini menjadi gerbang antara daratan dan lautan.

Gerbang ini menggambarkan Dewi Kwan Im yang didampingi 2 muridnya, dikawal oleh 4 pengawal langit, dan dilindungi 2 naga. Kesemua patung ini menghadap ke barat alias membelakangi laut.

Masih banyak tempat yang belum terkunjungi, baik selama di Madura atau pun di Surabaya. Eksotisme Suramadu, terutama Madura, memang layak untuk dieksplorasi lagi suatu saat. πŸ˜€

57 comments

  1. Liputannya ciamik!
    Saya dulu.. dulu sekali waktu SD pernah ke Madura cuma di Kamal, cari soto madura trus balik ke Surabaya lagi.

  2. woogh kok pohon pisangnya ga ada skrinsut? :-”

    OOT: wooogh kikodnya “chi”, kok mirip namaku.. hebaaat euy! :d

  3. Zam. koq kamu tampak berbahagia sekali sih foto di antara nisan2 ini… πŸ˜•
    setuju sama Dita, itu foto usus sapinya menyeramkan, jadi nda pengen makan 😐
    madura keren juga yaaa…

  4. kekuatan armada militer laut kita justru hampir disamai singapura, padahal negeri itu ga lebih besar dari jawa :d/

  5. foto di depan masjid agungnya kok kayak tempelan di studio ya, zam wakakakakakakak πŸ˜€ *komen ga penting*

  6. Cuplikan suatu ruang resepsionis yang temaram. Suara kipas angin di atap berputar pelan. Bunyinya membelah kesunyian.
    Seorang ibu paruh banya, berkacamata duduk di balik meja sambil menggunting gunting sesuatu. Matanya dingin.

    Saya bertanya, ” kamarnya ada air panasnya tidak bu ”
    Jawabnya dingin. Mata tidak bergeser dari guntingnya ” Tidak “

  7. ah jadi nyesel, dulu ga jadi ke Sumenep πŸ™

    fotomu yang di depan keren Zam, sangat khas sekali hahaha…. :d

  8. :d senang rasanya menjadi bagian kami semua untuk bisa menikmati tulisannya tentang madura …

    terima kasih dan luar biasa saudaraku …
    tetap semangat mengangkat wisata indonesia

    /:)

  9. ngeliat gerbang mesjidnya pola nya kaya di kamboja ato myanmar yah ato cuma perasaan saya sajaa?? :p apa ada hubungannya tah?

    *komennya sgitu dulu belom baca baru liat foto* :-“

  10. wah, mas zam sampe tahu detail2nya begitu. sebelum ke sana ngumpulin materi dulu ya? πŸ˜•

    fotonya bagus2(terutama bagi yg blm pernah ke sana ky saya). apa karena efek ‘mangap’ nya ya:d ^^v

  11. terima kasih tadi malem nganterin saya masuk ruangan itu. kalo ndak ada sampeyan, saya ndak bakalan ketemu sama penulis bukunya. Sekali lagi terima kasih

  12. Yang saya suka dari Surabaya adalah banyaknya bangunan tua peninggalan Belanda yang terawat dan bahkan difungsikan. Beda sekali dengan kawasan Kota Tua di Jakarta dan Kawasan Kota Lama Semarang yang terkesan mangkrak dan tak terawat.

    Nek menurutku, di Surabaya tidak ada pemetaan layaknya di Semarang atau Jakarta dan dijadikan rujukan wisata kota tua. Bisa jadi bangunan tua di Surabaya itu sporadis ndak kayak di Semarang atau Jakarta (IMHO).

    http://angki.wordpress.com/2008/10/30/journey-to-the-past/

  13. Bener2 liputan yang komplit nih..! Udah lama bener yah, lebih 15 tahun lalu deh ke Madura. Dari semua foto yang aku manteng ngelongok lama cuman satu – itu lho yang ada usus gorengnya.. ngiler bener !

    Ayo ditunggu cerita/liputan berikutnya.

  14. wowww… liputan yang menarik banget, setidaknya untuk orang yang buta madura seperti saya. Dalam bayangan saya madura itu puanasss banget dan gak ada yang menarik selain orang2nya yang demen mengumpat dengan kata2 kasar, hehehe…

    Thanks for this post… and other posts as well πŸ™‚ (sorry baru mampir2 lagi… baru sempet)

  15. Zam! Gubrak deh…nasi pera bukan karena padinya kalee, itu cuma masalah manajemen air waktu menanak nasi ;)) Lagian, meski makannya di Madura, berasnya ngga musti dari sana juga to yo. Kon wis takon karo sing dodol?

    *sambi methiki kangkung*

  16. @ Sanggita:
    hampir semua nasi yang saya rasakan di Madura itu pera.

    selain faktor manajemen air dan beras, bisa jadi teknik menanak nasi ala Madura memang dibikin pera. mengingat tanah di Madura yang gersang, sehingga penggunaan air benar-benar diheat. IMHO.

    thanks koreksinya. πŸ™‚

  17. tempo hari pas mengudara di atas surabaya, tampak salah satu lagi karya monumental di negeri ini, jembatan suramadu, jembatan penghubung pulau jawa dengan madura, dari atas tampak bagus juga.

    selama ini kurang tertarik untuk berwisata ke madura apalagi surabaya, yang terkenal panas, tapi abis baca postingan ini kok kayaknya patut untuk dicoba, nice post, om

  18. Aihhh jengjengnya tambah kemana2 euy…
    Madura ya…hmm..*jadi inget garam,tapi kok ga da yg dibahas yak? :)*

  19. Eish.. ternyata.. si Om ada di sini (?!) Aku belom pernah tuh ke Madura.
    Bener gak tuh kalo katanya orang MAdura sangar2? Hehehe.. Trivia2nya sangat menarik dan mendorong. Kalo ada rejeki bisa ke sana, eike diguide dong mas.. Hehe..
    PS: Foto2 sampeyan kok kayak tempelan ya..? Haha.. Maksudnya kepisah dari orang sama pemandangan di belakangnya.. Wah.. beneran ke Madura apa potosop nih? Hihi..

  20. sempat mengikuti perjalannya via plurk/facebook, beruntung bro! yang biasa ke madura/sumenep belum tentu pernah mengunjungi tempat2 ini semua πŸ™‚

  21. Lho jembatan Suramadu udah jadi blum sih? kayaknya lama banget bikinnya, pas jadi engga ketauan.. apa saya yang ketinggalan info ya?

  22. wah, makin banyak nih tempat2 di Indonesia yang udah di kunjungi.
    dari posting nya mas ini saya baru tahu kalo ada ada kraton lain selain di jogja dan solo, yaitu di Sumenep.
    tapi kok kenapa kratonnnya enggak terkenal, ya?
    saya tunggu mas posting2 mengenai perjalanan yang mengasikkan selanjutnya

  23. wedehh…ulasanya gamblang..komplit pake telor.dooh enaknya si zam ini ..kerja atau jalan jalan dikerjaain.trus sing gaji siopo?? hheihiehe,,,

  24. Wah, sempat-sempahnya mejeng di kuburan ki πŸ˜€

    Madura? Keknya baru sekali deh, darmawisata pas SD dulu bangets…

  25. Sudah lama saya memendam hasrat untuk bisa menjelajahi pulau garam. Wah gara-gara tulisan sampeyan hasrat saya semakin memuncak untuk bisa segera kesana dan “menangkap” landscape dengan olympus c740 hehehe…salam kenal πŸ˜€

  26. saya madura asli loh, kapan2 mampir ke pamekasan, kota asal saya. di pamekasan juga banyak tempat2 yang layak di explore.^^v

  27. hohoho..bangganya sebagai seorang yang dilahirkan di pulau madura..makasih mas zam…salam kenal…=d>

Comments are closed.