Sudahkah Kita Menjadi Backpacker?

Backpacker?

Seringkali saya mendapat pertanyaan, “saya pengen ke situ dengan cara backpacker, kira-kira naik apa, ya?”. Backpacker, lebih tepatnya orang yang melakukan kegiatan backpacking, memang menjadi ngetren akhir-akhir ini. Seolah-olah itu suatu kegiatan keren bagi para pejalan.

Anggapan bepergian memanggul tas punggung, berpenampilan “gembel”, menggunakan sarana transportasi publik, dan bisa menjelajah berbagai sudut bumi memang kerap menjadi rujukan untuk definisi backpacker. Ini memang tidak salah, setidaknya belum ada definisi baku dari kegiatan yang konon baru dikenal tahun 60/70-an.

Namun kadang kita (kita? saya aja ding) sering melupakan semangat dan filosofi dari backpacking. Seringkali saya ber-backpacking hanya penampilan. Memanggul tas segede dosa seperti hendak camping selama setahun (sehingga berbagai barang dibawa) dan menunjukkan latar belakang foto tempat-tempat keren di penjuru negeri, memang keren.

Tapi apakah kita, eh saya, sudah menjadi seorang backpacker?

Aktivitas backpacking seringkali dijadikan rujukan bagi para pejalan yang ingin melakukan suatu perjalanan dengan biaya rendah dan biasanya memakan waktu yang panjang. Salah kaprah pun kerap terjadi. Semangat dan filosofinya pun tereliminasi.

Backpacking tidak semudah itu dirumuskan, meski salah kaprah tersebut mengandung beberapa unsurnya.

Beberapa unsur-unsur penting yang bisa saya ekstrak dari berbagai definisi backpacking adalah biaya rendah, waktu yang panjang, kemandirian, perhitungan, dan interaksi dengan kehidupan setempat.

Biaya merupakan unsur pertama. Bepergian dengan biaya serendah mungkin, merupakan salah satu ciri backpacking. Implikasinya, para pejalan sering menggunakan sarana transportasi umum karena perhitungan biaya tadi. Namun ndak menutup kemungkinan, menggunakan sarana transportasi umum bisa lebih mahal bila menggunakan kendaraan pribadi, apalagi jika transportasi publik kurang memadai di daerah tersebut.

Kendaraan umum dipilih para pejalan untuk mencapai tujuannya, bukan hanya pertimbangan faktor biaya. Faktor interaksi dengan penduduk lokal, melihat dan merasakan secara langsung kehidupan penduduk, hingga bila memungkinkan berbincang-bincang menggunakan bahasa lokal serta memahami budaya mereka, menjadi unsur lain dari backpacking yang tidak bisa ditemukan bila menggunakan kendaraan pribadi.

Bertanya kepada penduduk cara mencapai suatu tempat, hingga menginap di rumah-rumah penduduk, kerap kali dilakukan para backpacker untuk merasakan dan memahami kehidupan setempat.

Hostel-hostel yang memudahkan interaksi antar pejalan yang menginap juga menjadi cara mereka untuk mengenal wilayah. Bertemu dan bertukar informasi dari sesama pejalan yang berasal dari berbagai tempat dan latar belakang budaya, tentu menjadi pengalaman tersendiri.

Para backpacker tidak hanya mendatang tempat-tempat wisata umum, mereka juga mencoba mengetahui lebih banyak daripada wisatawan biasa yang biasanya cuma setor foto dan cerita-cerita menyenangkan. Backpacker mencoba untuk lebih dalam mengetahui berbagai hal tentang suatu tempat, sehingga selain untuk bersenang-senang, mereka juga belajar.

Backpacker bukan hanya memuja-muja biaya rendah, nggak harus ngirit sengirit-ngiritnya. Ada faktor lain yang perlu dipertimbangkan, yaitu waktu. Waktu ini sering kali bertolak belakang dengan biaya.

Bepergian dengan biaya rendah biasanya memakan waktu yang lama, begitu juga sebaliknya, menggunakan transportasi yang “mahal” bisa menghemat banyak waktu. Menggunakan kereta api berbiaya murah tentu memakan waktu lebih lama daripada menggunakan pesawat berbiaya lebih mahal, bukan?

Sialnya lagi, kalo budget dan waktu mepet. Sial benar backpacker macam beginian. Hehehe.

Begitu juga ketika menentukan akomodasi. Penginapan dengan lokasi strategis yang dapat menghemat banyak waktu tentu juga lebih mahal daripada penginapan yang terletak di kawasan pinggiran. Tentu saja terlepas dari pelayanannya.

Perhitungan dan kecermatan dalam menghitung ini adalah faktor yang harus dimiliki backpacker. Ndak hanya uang, barang-barang yang perlu dibawa ketika bepergian tentu juga perlu dipikirkan. Backpacker cenderung membawa sedikit barang karena demi mengurangi beban. Semua barang kan dibawa dengan tas punggung, yang tujuannya memudahkan mobilitas, sehingga harus dihitung benar barang-barang apa saja yang bisa masuk ke tas punggung dan seberapa kuat dia membawanya.

Dulu, backpacker jarang membawa benda-benda berharga yang sekiranya tidak perlu. Laptop, telepon seluler, dan sebagainya ditinggal di rumah karena faktor efisiensi tempat dan keamanan. Sekarang banyak juga backpacker yang membawa gadget-gadget pendukung yang tentunya memudahkan mereka bepergian, semacam telepon genggam, kamera, hingga GPS.

Backpacker yang baik tentu bisa menguasai medan. Punya kemampuan membaca peta dan menentukan arah mata angin, akan sangat berguna apalagi ketika tersesat. Menguasai berbagai macam bahasa tentu akan sangat membantu lagi. Ini prinsip kemandirian yang dipegang.

Menjadi backpacker memang memiliki kelebihan dan kekurangan. Keterbatasan dana membuat mereka harus memutar akal supaya bisa mencapai tujuan sesuai dengan kemampuan. Ini tentu beda dengan layaknya wisatawan yang memang datang ke suatu tempat untuk bersenang-senang dan rekreasi.

Apapun pilihan kita ketika bepergian, dengan ala backpacker atau wisatawan, selama kita nyaman dan menikmati perjalanan kita, sumangga saja. Yang penting senang dan ndak merusak tempat-tempat tujuan tersebut.

Ngomong-ngomong, saya bukan, eh belum, menjadi seorang backpacker. Masih wannabe. Kalo ada tawaran menjadi wisatawan, apalagi dibayari, saya memilih cara wisatawan aja deh! Hihihi..

48 comments

  1. dulu juga saya sering berangan2 jadi backpacker…apalagi kalo ada yg modalin uang sangu dan jaminan bahwa pekerjaan saya akan memberikan kompensasi yg sebesar2nya selama saya melanglang buana (alias teteup di gaji!)
    terlebih setelah saya membaca buku honeymoon with my brother…bikin sirik aja deh memebaca pengalaman2 mereka selama menjadi backpacker.

    anyway, hope your wish will come true & good luck. =D

  2. Kendala umum backpacker adalah tidak mengetahui medan yang akan dia kunjungi. Tak ada informasi yang menarik mengenai tempat yang dituju, atau memang tempat itu sendiri tidak informatif.

    Saya backpacking ke Palangka Raya dan Banjarmasin beberapa bulan lalu. Rasanya menyenangkan.

  3. itulah yang membedakan backpacker dengan wisatawan. mereka menjelajah tempat-tempat yg mungkin di dalam peta nggak ada. informasi didapat dari penduduk lokal atau bertukar informasi dari teman-teman sesama backpacker.

    karena minimnya informasi ini, muncullah buku Lonely Planet yang sangat membantu dan menjadi holy-bible nya backpacker seluruh dunia. buku ini mahal, dan menurutku layak, karena yang mahal adalah database informasi yang ada. buku LP juga diupdate sesuai dengan perkembangan.

  4. Nyeheheh.. yaa.. kalo ada tawaran jadi wisatawan mah mending jadi wisatawan.. kalo backpacker.. ng.. ntar2an deh.. hihihihi.. btw mamaku pernah bilang gini “Ti, mama kemarin dari makasar foto2nya bagus dong.. mama mau bikin iri kamu.. soalnya kamu kan travel bag”. Saya diem.. “mm.. maksudnya mah?” “iya, kamu kan travel bag!”.. Saya bales “Eng.. maksud mama.. Backpacker?!” “Ya iya itu!! Udah tau pake nanya!”

  5. sekali-sekali pengen nyoba wisata ala backpacker, tapi blom ada yg ngajakin nih, takut kalo sendiri, nyasar gak bisa pulang heheh. slm kenal yah… tulisannya menarik.

  6. pdhl dulu pas kerja di LSM malah sering, nyolong fasilitas pajak org jepang hahaha~ sampe lonely planet indonesia keluaran terbaru juga pegang … malah gak aku dokumentasikan 🙂

  7. ngahahaha!! ndoyok bersama kelihatannya enak tuh! :))

    beidewei, kalo backpacker itu kan biasanya ndak punya kartu frequent-flyer maskapai penerbangan terbaik negeri ini, kan? ;))

  8. Saya sudah belum ya? Saya hampir tiap hari pakai tas ransel berat banget. Isinya macem-macem tapi yang dominasi berat-nya LAPTOP ama Portable….

  9. Kalau suka wisata sih iya…tapi kalau jadi backpacker sih kayaknya nggak deh…ntar punggungku bisa patah.
    Jika ada tugas ke bebarapa daerah, laptop ditarus dalam koper beroda untuk memudahkan, dan hanya pas di pesawat aja baru diangkat masuk ke kabin….

    Jadi..kalau mau ikutan pikniknya Zam, harus sip backpacker ya….tas travelbag kan boleh juga?

  10. pengen sih ngerasain jadi backpacker tapi belum punya keberanian untuk itu masih jadi wisatawan biasa, merencanakan budget perjalanan dengan spare yang cukup besar ga mepet-mepet banget hehe.

    tapi saya sih lebih milih jalan-jalan dibiayi kantor hehehe..gratis, jalan-jalan sambil kerja 😀

  11. ingat waktu jaman kuliah dulu…kemana2 maen ke daerah2 tanpa modal yang cukup…cuman mengandalkan tumpangan dan teknik survival di kota…bahkan pernah bikin mie rebus di atas kereta matraremaja dari kota malang dengan kompor lapangan…

    tapi dulu aku gak kenal istilah backpacker
    hehehehe

  12. sama, kang. saya juga masih wannabe. 😀

    tapi asli, beda rasanya bepergian ala backpacker dengan darmawisata biasa. kalo darmawisata biasanya kan cuma lewat di tempat2 wisata yang udah populer.. kalo ngikutin cara backpacker, bisa menjamah tempat2 terpencil yang ternyata kadang lebih menarik. 😀

  13. apalagi pergi ke suatu tempat yang blum pernah kita jajah…. sangat menyenangkan sekali…

    tapi sayangnya kesenangan itu rusak karena pergi ke tempat itu dalam rangka bekerja!!!!

  14. Sama dengan istilah minimalisme yang kerap digunakan secara sembrono.

    Happy backpacking! Kapan jalan bareng nih? 🙂

  15. hehe, betul banget, jadi backpacker memang tidak semudah terdengarnya. Kadang yang murah ternyata jadi mahal, yang pinginnya kemana2 jadi terhambat. Apalagi kalau jalannya nggak sendirian, harus kompromi sama teman jalannya. Sini pinginnya jalan kaki, sana pinginnya naik bis, yang sana lagi pinginnya neksi..

    Tapi setiap perjalanan pasti punya kenangan indahnya masing-masing kan ya, mau backpacking atau nggak.. 😉

  16. naik angkutan umum di tempat asing amat mengasyikkan, sebaiknya tidak dilewatkan 😀 di tempat yang saya kunjungi, sebisa mungkin nggak naik taksi (kecuali ke dan dari bandara, meskipun pernah juga sial, manggul ransel dan jalan kaki hampir dua jam pas tengah malam karena nggak ada taksi). soal akomodasi juga gitu, tidur campur co-ce di youth hostel pakai ranjang susun dan kamar mandi luar, kalau nggak kepaksaaaa banget, ya sebetulnya ogah. kesimpulannya, saya belum pernah jadi bekpeker sejati 😛

  17. Hmmm…saya pernah backpacker-an ke yogya untuk acara capoeira, cukup menantang juga.
    Trus yang paling bikin saya senang, saya bisa terhindar dari mabuk darat. maklum orang ndeso, suka mabuk kalau naik bus yang ber-ac he3

  18. setuju sama Adham Soemantri..lebih baik ndoyok, karena klo ndoyok itu udah pasti mbekpeker..tapi bekpeker belon tentu ndoyok 😀

    *bikin list ndoyok selanjutnya*

  19. kalo aku mah mau dolan dolan aja
    urusan backpacker (tas punggung) harus tetep dibawa
    tujuan dan biaya sudah dicek n rechek….

  20. niat banget bwt jadi bckpacker..tapi ampe skarang bLum ksampaian…
    bnyaq yg ngLaarang, tLebih keLUarga…pdahaL uda sgede niii…!!!-(

    tapii…ampe ariii ni, msi ja pengen jd bckpackerrr…..!!!

  21. walaupun melelahkan karena harus berjalan kaki di saat biaya perjalanan yg qta miliki telah habis,namun menikmati ujung perjalanan menuju suatu situs bersejarah / kawasan wisata yg menarik tuk dikunjungi, memberikan suasana yg berbeda bila melakukan perjalanan dgn didampingi agen/biro perjalanan…

  22. bagus nih, bisa buat gambaran juga kaya gimana backpacker. wah aku makin pengen banget bisa backpacking..
    satu yang paling susah tuh yang mengetahui arah mata angin sama baca peta. hehehe

Comments are closed.