Jeng-Jeng Garut

Jeng-jeng Garut

Sejak zaman VOC, Garut sudah terkenal dengan keindahan alamnya. Pada tahun 1910, Officieel Touristen Bureau, Weltevreden (Dinas Pariwisata VOC di Weltevreden, Batavia) menyebut Garut sebagai Paradijs van het Oosten (surga dari timur). Namun sayang, potensi ini kurang tergarap dengan baik.

Garut memiliki banyak potensi wisata, karena lokasinya yang dikelilingi oleh rangkaian gunung berapi aktif seperti Gunung Guntur, Gunung Haruman, dan Gunung Kamojang di sebelah barat, Gunung Papandayan dan Gunung Cikuray di sebelah selatan/tenggara, Gunung Talagabodas dan Gunung Galunggung di sebelah timur. Di sebelah selatan, terdapat garis pantai sepanjang 80 Km.

Saya mendatangi kota yang terkenal akan dodol dan dombanya ini. Seperti biasa, perjalan direncanakan sehari sebelum keberangkatan. Bahkan itinerary belum sempurna dibuat karena buta sama sekali dengan obyek wisata dan sistem transportasinya. Kami nekad berangkat dan bermodal “nanti di sana tanya-tanya saja soal transportasi dan akomodasinya”.

Untuk menuju kota ini sangat gampang karena banyaknya transportasi bus AKAP dari Jakarta maupun Bandung. Salah satunya dari Terminal Lebak Bulus menggunakan bus Primajasa dengan tarif 35 ribu rupiah. Perjalanan memakan waktu sekitar 4 jam dan berakhir di Terminal Guntur, Garut Kota.

Setelah beristirahat di sebuah masjid tak jauh dari terminal, kami bertanya ke penduduk yang kebetulan sedang akan melaksanakan ibadah sholat dhuhur. Calo-calo di terminal yang menawarkan trayek angkutan memang sedikit menyebalkan, maka kami memilih untuk menyingkir dari sana dan mencari petunjuk dari “pihak ketiga”.

Penginapan rupanya banyak ditemukan di daerah Cipanas. Di daerah Garut kota malah kesulitan. Ketika kami menghubungi 108 (terlebih dulu memberikan kode kota 0262 sebelum nomor 108) untuk bertanya penginapan, rupanya Telkom ndak memiliki database yang lengkap. Beberapa nomor yang diberikan pihak Telkom malah gagal tersambung.

Kami pun akhirnya mendapat kamar di Hotel Augusta (0262-238250), sebuah hotel bintang 2 yang terletak di Jalan Raya Cipanas dengan tarif sekitar 150-450 ribu per malam (tergantung tipe kamar dan wiken atau tidak).

Menuju Cipanas dari terminal Guntur bisa dilalui dengan angkot bernomor 04 jurusan Terminal Guntur-Cipanas berwarna coklat muda. Atau kalo naik bis, turun sebelum masuk terminal Guntur, tepatnya di Jalan Otista (Otto Iskandar Dinata) pertigaan Cipanas (Jl. Panday) sebelum simpang Tarogong, kemudian naik angkot 04 ke arah Cipanas.

Setelah meletakkan tas dan beristirahat sejenak di penginapan, kami melanjutkan perjalanan menuju Situ Cangkuang. Dengan menggunakan angkot nomor 10 berwarna hijau/abu-abu jurusan Leles, kami turun di alun-alun Leles, kemudian naik sejenis dokar di mana orang setempat menyebutnya Kretek. Tarif naik Kretek ini per orang sekitar 5 ribu rupiah.

Dokar "Kretek"

Pemandangan menuju situ didominasi oleh sawah. Di utara kita akan melihat siluet Gunung Haruman, di sebelah barat akan nampak Gunung Mandalawangi dan Gunung Guntur.

Kontur naik dan turun membuat kusir kami harus mengendalikan kuda sesuai dengan perintahnya. Ketika jalan menanjak, kusir akan menghentakkan tali dan kuda pun akan berlari kencang, dan sebaliknya ketika jalan menurun, laju kuda diperlambat. “Supaya kuda tidak keseleo karena berlari kencang di jalan menurun”, ucap sang kusir. Untuk memperlambat, tali kekang agak ditarik dan kusir mengeluarkan semacam bunyi yang memberi isyarat agar kuda memperlambat jalan atau berhenti.

Kretek sendiri cuma bisa ditumpangi oleh maksimal 4 penumpang dengan 2 tempat duduk menyamping di belakang tempat duduk kusir. Sepanjang jalan badan kami terguncang-guncang, sehingga bila tidak berpegangan, kita bisa terlempar keluar.

Masuk ke kawasan Situ Cangkuang, kami dipungut biaya 2 ribu rupiah per orang. Untuk menyeberang ke Pualu Ageung di tengah situ, kami naik semacam rakit sepanjang sekitar 20 meter. Tarif “resminya” sih 2 ribu rupiah per orang, tapi si pengemudi rakit mematok harga “borongan” seenaknya. Setelah negosiasi, disepakati tarifnya jadi 5 ribu per orang bolak-balik.

Rakit penyeberangan di Situ Cangkuang

Rakit digerakkan dengan menggunakan sebilah bambu yang ditancapkan ke dasar situ, kemudian si “nakhoda” akan berjalan di sepanjang rakit dengan bertumpu pada bambu tadi untuk mendorong rakit. Di tengah-tengah situ, terdapat banyak nelayan yang menjala dan memancing ikan.

Situ Cangkuang dulu mempunyai luas sekitar 25 hektar, namun karena proses sedimentasi, luasnya menyusut hingga menjadi sekitar 15 hektar saja. Di tengah situ terdapat Pulau Ageung dan Pulau Alit, yang karena sedimentasi pula, kedua pulau ini akhirnya “menyatu”.

Dinamakan Cangkuang karena dulu di daerah ini terdapat banyak pohon cangkuang (Pandanus furcatus) semacam pandan yang dimanfaatkan warga untuk anyam-anyaman. Air situ berasal dari sebuah mata air yang kemudian dibendung oleh Embah Dalem Arif Muhammad, seorang tokoh dari Mataram yang menjadi awal mula keberadaan tempat ini.

Di tengah Pulau Ageung, terdapat candi Hindu yang bernama Candi Cangkuang. Tak jauh dari kompleks candi, terdapat makam Embah Dalem Arif Muhammad dan kampung adat Kampung Pulo (pulau).

Candi Cangkuang

Candi Cangkuang yang diperkirakan dibangun pada abad ke-8 ini seolah-olah menjadi saksi akulturasi kebudayaan dan agama yang dialami desa ini. Konon dulu penghuni Desa Cangkuang beragama Hindu (dibuktikan dengan berdirinya candi Hindu), kemudian Arif Muhammad datang ke desa ini dan menyebarkan agama Islam.

Kampung Pulo yang terletak tak jauh dari candi juga memiliki keunikan tersendiri. Di kampung ini cuma terdiri atas 6 rumah adat yang dihuni oleh 6 kepala keluarga dan sebuah masjid di tengah-tengah gang. Jumlah dari rumah tersebut tidak boleh ditambah atau dikurangi, begitu juga dengan keluarga yang mendiami di rumah tersebut tidak boleh lebih dari 6 kepala keluarga. Penduduk kampung ini dipercaya merupakan keturunan dari Embah Dalem Arif Muhammad.

Keunikan lain, meski penduduk Kampung Pulo memeluk agama Islam, namun beberapa ritual agama Hindu masih dilakukan. Selain itu, ada larangan bagi penduduk Kampung Pulo memelihara ternak berkaki empat seperti sapi, kambing, dan sebagainya.

Semua rumahnya pun memiliki pola yang unik, memanjang dari timur ke barat (jolopong). Beberapa rumah bahkan atapnya masih menggunakan atap ijuk.

Rumah adat Kampung Pulo

Informasi soal Candi Cangkuang juga bisa dibaca di blognya Wijna.

Malamnya kami mencari makan di sekitaran Simpang Lima Garut. Informasi ini kami dapatkan dari sopir angkot yang kami tumpangi. Secara umum, Kota Garut itu sepi sekali.

Sejak menginjakkan kaki di Garut, saya mengamati jarang sekali terlihat pemuda berusia belasan. Dugaan saya, pemuda-pemuda berusia produktif ini kebanyakan merantau ke luar Garut seperti Jakarta atau Bandung, entah untuk sekolah atau bekerja.

Kami makan di Simlim, semacam foodcourt kecil-kecilan di pinggir jalan. Banyak menu yang ditawarkan, namun saya memesan Mie Kocok, karena penasaran dengan bentuknya. Selain dodol, sepertinya Garut ndak mempunyai kuliner khas yang bisa dicoba.

Mie Kocok sendiri sangat sederhana, terdiri dari mie kuning, kecambah mentah (yak, saya kurang suka dengan kecambah yang dicampur dengan mie), kemudian ditabur potongan kikil sapi. Kuahnya pun standar banget, kuah kaldu tanpa bumbu yang berarti.

Mie Kocok Garut

Disebut mie kocok karena mie dimasak dengan dimasukkan ke dalam semacam sendok khusus, kemudian dicelup-celupkan ke dalam air mendidih. Proses memasak mie kayak gini mengingatkan saya akan Mie Ongklok dari Wonosobo.

Pagi-pagi benar kami bersiap menuju ke Kawah Papandayan. Dengan menumpang angkot 04 kemudian disambung dengan Elf (minibus). Untuk menuju ke Kawah Papandayan juga bisa langsung dicapai dengan menggunakan Elf jurusan Cikajang dari Terminal Guntur.

Kami turun di pintu gerbang obyek wisata di daerah Cisurupan. Ongkos Elf sekitar 5 ribu rupiah. Begitu turun, kami langsung disambut dengan tawaran tukang ojek. Menuju ke kawah memang bisa ditempun dengan menggunakan ojek, ndak perlu susah-susah mendaki. He he he.

Setelah tawar menawar, disepakati harga 15 ribu untuk naik dan 15 ribu rupiah lagi untuk turun. Jalan menuju kawah beraspal namun sedikit rusak di sana-sini. Motor mio yang saya tumpangi mengerang-erang ketika melahap tanjakan yang cukup curam.

Sekitar 10 menit, kami sampai di pos untuk melapor. Di sini dikenakan biaya per orang 2 ribu rupiah plus sumbangan sukarela. Bila ingin menyewa pemandu, ongkosnya 50 ribu per jam.

Karena jalur lama tertutup longsoran akibat letusan pada tahun 2002 dan si pemandu menjanjikan track yang ndak biasa, kami pun sepakat menggunakan pemandu, juga untuk menggali informasi.

Kawah Papandayan sebenernya sebuah kaldera dengan bentangan mencapai 3 Km. Gunung ini masih aktif sehingga asap-asap yang muncul dari beberapa kawahnya merupakan tanda-tanda aktivitasnya. Pengunjung harus berhati-hati karena ada beberapa kandungan gas yang cukup berbahaya, antara lain gas belerang (yang baunya busuk banget).

Kawah Papandayan

Kami melewati rute yang berbeda seperti yang dijanjikan pemandu. Kami mendaki dulu ke atas, menuju ke bibir kaldera sehingga pemandangannya pun lebih menakjubkan. Tepat di salah satu puncak di bibir kaldera, saya melihat seismograf yang dipasang untuk memantau aktivitas kegempaan kawah ini.

Dari atas sini pula, saya lebih leluasa melihat Kawah Baru, yang merupakan hasil letusan pada tahun 2002. Letusan ini juga mengakibatkan longsorannya menutupi Kawah Nagrak dan akses jalan aspal yang menuju kawah ini.

Puas menikmati pemandangan, kami memutuskan untuk turun dan menuju ke obyek wisata Cipanas untuk berendam air panas sebelum kembali ke Jakarta.

Begitu turun dari ojek dan hendak menunggu Elf, kami sempat bersitegang dengan sopir angkot yang memaksa-maksa kami naik ke angkotnya. Naik angkot dari Cisurupan menuju Garut tentu akan dipatok dengan harga sangat mahal. Tukang ojek yang rese juga seolah-olah menyuruh kami untuk masuk ke angkotnya.

Untung sebuah Elf lewat dan kami segera naik ke dalam meski si kenek Elf sempat diintimidasi oleh si sopir angkot, untungnya tidak terjadi masalah berarti.

Dari Elf, kami turun di persimpangan Tarogong untuk kemudian naik angkot 04 favorit kami. Kami memilih mandi air panas di Hotel Tirtagangga dengan tarif 25 ribu rupiah per orang karena dengan alasan kenyamanan.

Di Hotel Tirtagangga, terdapat 2 kolam air panas dengan suhu yang berbeda plus sebuah shower air panas.

Kolam air panas Hotel Tirtagangga

Di kawasan pemandian air panas Cipanas, memang banyak terdapat pemandian umum, namun kondisinya sangat memprihatinkan. Beberapa penginapan, terutama penginapan berbintang, biasanya mempunyai fasilitas kolam air panas tersendiri.

Air panas di kawasan ini berasal dari 4 sumber mata air panas yang merupakan hasil aktivitas dari Gunung Guntur. Air panas dari Gunung Guntur konon merupakan air panas alami terjernih, dengan kandungan belerang cukup rendah, bersuhu hingga mencapai suhu 49° ini baik untuk terapi penyakit kulit atau penyakit lainnya.

Sejak dulu, Cipanas memang terkenal dan menjadi favorit para pejabat VOC di Batavia. Konon komedian film bisu Charlie Caplin pun pernah singgah di kawasan ini.

38 comments

  1. njrit rakitnya keren, seumur umur belom pernah naik rakit ginian. dokar banya kok kecil kayak ban motor. bukannya dulu make kayu 🙂

  2. hehe.. akhirnya kembali ke candi ya, kang. :mrgreen:

    btw, jawa barat keknya memang menyimpan banyak keindahan alam dan budaya. sayang aja belum banyak yang terekspos.

    kami tunggu jeng-jeng jabar selanjutnya, kang. :mrgreen:

  3. dab, ketoke koe perlu beli lonely planet indonesia deh..walaupun bukunya mahal tp buat ndoyok spt emas ituh 🙂 …mungkin bisa dibeli patungan dengan ndoyokers lain di jancukarta hahaha~

    dulu aku di kantor punya dan waktu jalan jalan colongan di bali asli menolong banget 🙂

  4. Lonely Planet edisi Indonesia malah susah ditemukan di toko-toko buku di Indonesia (kebanyakan edisi Bali & Lombok).

    Aku ada versi digitalnya yang tahun 2007 ama 2008. Di edisi 2007, Garut ndak tercantum. Di edisi 2008, Garut ada tapi minim banget.

    LP berguna bgt kalo obyeknya mayan terkenal, tapi untuk yang dikit obyeknya, ya minim juga.

  5. Kalo rakit itu setauku “gethek”. Dalam bahasa Jawa, “kretek” bisa berarti “jembatan”.

    Seingatku, dokar itu disebut “kretek”.

  6. Sakjane, nek aku boleh usul, liputan jeng-jengmu akan semangkin mantaps kalau ditambahi satu boks kecil di bawah artikel yang berisi summary tentang transportasi yang harus dipake dari Jkt, biaya, hotel, dll jadi untuk orang2 yang ogah mbaca dari awal, info2 penting gitu tak terlewatkan:)

    Tur nek aku moco tenan, rak ngapusi.. 🙂

  7. Wah, jadi teringat kampung banget nih- sek,..aku ngurus permohonan cuti dulu deh.. 😀

    Juragan, nuhun pisan buat artikel yang satu ini.. meyakinkan diri lagi kalau tanah air kita jauh lebih indah dari negeri si bau kelek disini 😀

  8. lah, blog ini arahnya memang bukan kayak di majalah wisata yang total ngasih panduan. blog ini lebih ke sharing pengalaman saja. kalo pun mau dijadikan panduan, ya sumonggo.

    kalo aku kasih kotak-kotak info penting begitu, orang nanti gak baca tulisanku, doms. cuma baca “yang penting-penting aja”. kalo pengen tau ya baca dengan lengkap. kalo gak sempet ya disempatkan. kalo gak mau baca ya sumonggo minggat saja.. hihihi..

    tapi, makasih masukannya, mas!

  9. setuju banget mas. Indonesia itu sebenernya keren. cuma sayang, kita ndak bisa mengelolanya dengan baik. tugas saya sebagai blogger cuma bisa menuliskan, dan semoga bisa menambah wawasan.

    ayo, cuti. kita kopdar.. hihihihi

  10. pernah kesana sekali, uademmm banget…nginep dibawah gunung papandayan.
    nganterin org pacaran *dadi nyamuk :(*

  11. Kota Graut masih tetap sepi ya..berarti keindahannya masih terjaga.
    Zaman kuliah saya sering melakukan penelitian di daerah Garut ini, di atas kampung Wanaraja ke arah gunung Galunggung.

    Lihat getek (rakit) jadi ingat masa kecilku, kalau ke rumah nenek, kadang ibu mengajak naik getek saat menyeberang sungai, karena jalur ini lebih singkat

  12. sempet ke garut once taon kemaren..

    ke sungai cimanuk melewati medan trasiring persawahan yang bikin sendal rusak..

    but, it was worthed..

    bagusssss banget

    salam kenal ^^

  13. wow, kaldera nya nyampe 3 Km. pasti keren dan serem banget :p

    btw, masalah transport yg ribet kayak gitu yang kadang bikin males masuk ke pelosok. knapa aku ngerasa mereka malah gak mendukung sektor pariwisata ya?

  14. Keren tuh rakitnya. Btw di Cipanas banyak villa sewaan gitu, relatif lebih murah ketimbang nginap di hotel. Tapi kalo cuma 3-4 orang ya mendingan di hotel jg sih 😀

  15. cari2 wisata Garut, nyasar ke sini. aku sebenernya nyari info batik garutan atau kerajinan kulit Sukaregang. kapan2 kalo ke Garut lagi ke sana ya, trus tulis lagi di blogmu ini, jadi aku tinggal nyontek infonya, hihihi..

    toge (kecambah) dalam mie berkuah kayaknya emang khas Jawa Barat ya. tadinya aku mo rekomendasiin mie kocok Mang Dadeng di Jl.Banteng, Bandung. tapi ternyata kamu ga suka 😀

  16. makasi yaaa… infonya nice bgt!!
    salam kenal 😉

    besok aku ke garut dan aku ikutin jalur yang ada di blog ini aja!! bener2 tertolong soalnya aku ga ada persiapan apa2 ni mau backpacker ke garut,, hihihi Gbu =)

  17. wah asyik atuh liburan ke garut .
    pemandangan nya indah.

    thanks iyya atas infonya.
    sukses selalu dan d tunggu tulisan yang selanjutnya.

Comments are closed.