Tak diragukan lagi, sistem transportasi massal (MRT – Mass Rapid Transportation) di Singapura memang pantas disebut sebagai salah satu yang terbaik. Efisiensi, ketepatan waktu, kemudahan, integrasi, dan kenyamanannya memang patut diacungi jempol.
Sebagai pelancong yang sering mengandalkan layanan transportasi publik, saya sangat terbantu. Belum lagi soal papan petunjuk dan peta yang dapat dengan mudah ditemukan di setiap sudut, membuat orang bodoh yang nekad melancong tanpa rencana dan tujuan seperti saya bisa mendapatkan pencerahan hendak ke mana.
Setelah terkesima plus bingung di pelabuhan HarbourFront, kami akhirnya memulai perjalanan dengan mencoba sistem transportasi di Singapura.
Untungnya di Singapura, bertebaran papan-papan petunjuk, sehingga dengan cukup mengikuti papan petunjuk yang ditulis dalam bahasa Inggris, Melayu, Mandarin, dan India, kita ndak bakal nyasar.
Saya yang biasanya bertanya pada satpam, polisi, atau orang yang “saya anggap tahu” sempet celingukan dan bingung, karena orang-orang yang saya cari ini ndak saya temukan! Semua informasi sudah terpampang jelas di papan-papan petunjuk.
Kami memilih untuk naik MRT saja, alat transportasi “default” bagi para pelancong dan masyarakat Singapura. Saya pun menuju ke terminal MRT HarbourFront, tentu setelah mengikuti panah di papan petunjuk. Dari pelabuhan, saya bahkan ndak perlu keluar karena pelabuhan dan stasiun MRT terhubung dan terintegrasi dengan toko-toko di sekelilingnya, sehingga suasananya lebih mirip mall daripada pelabuhan atau stasiun.
Sistem transportasi MRT dibangun pada November 1987 dan menjadi sistem transportasi tertua kedua di Asia Tenggara setelah sistem transportasi LRT di Filipina. Stasiun dan jalur-jalur MRT berada di bawah tanah (juga ada yg di atas – skytrain) dan memiliki sisitem pelindung dari goncangan gempa dan bom, menjangkau hampir seluruh pelosok Singapura dari barat-timur hingga selatan-utara.
Stasiun-stasiun MRT memiliki pendingin udara, sehingga kita ndak perlu khawatir kepanasan, meski di dalam terdapat banyak orang. Selain itu suasananya sangat bersih dan rapi jali. Semua perangkat sangat terawat dan berfungsi sempurna sehingga seolah-olah terlihat selalu baru.
Untuk naik MRT, ada beberapa cara, yaitu dengan membeli tiket sekali jalan yang bisa dibeli di mesin tiket swalayan (kiosk), atau membeli kartu tiket EZ-link RF-ID yang bisa diisi ulang. Tidak ada unsur manusia (kondektur yang menarik ongkos atau memeriksa karcis), kecuali para pelayan yang membantu mengoperasikan kiosk dan di counter pembelian kartu tiket.
Saya memilih membeli kartu Singapore Tourist Pass keluaran EZ-link seharga SG$ 18 (ongkos ini termasuk deposit ongkos perjalanan sebesar SG$ 10) untuk turis harian (ada beberapa jenis kartu, saya membeli STP yang harian karena saya di Singapura cuma sehari) yang bisa digunakan untuk naik kereta dan bus kota.
Ya, bus kota dan kereta terintegrasi dalam sistem MRT yang dioperasikan oleh perusahaan swasta SMRT dan SBS-Transit.
Kartu STP ini nanti bisa tukar kembali dan sisa uang deposit akan dikembalikan. Namun sebagai turis ndeso, saya lebih memilih menyimpannya untuk kenang-kenangan.
Dengan menggunakan kartu, sangat mempermudah dalam penghitungan ongkos dan efisiensi. Penghitungan ongkos dilakukan dengan menggunakan sistem poin, misalnya kita berangkat dari stasiun/terminal A ke stasiun/terminal D. Jika A bernilai poin 7, dan D bernilai poin 4, maka ongkos yang harus dibayar adalah selisih dari poin ini (bukan dari jarak), yaitu 3.
Jarak yang dekat bukan berarti lebih murah. Nah, dengan poin bernilai 3 ini ongkosnya bisa dilihat di tabel yang juga terpampang jelas. Ongkos menggunakan kartu lebih murah daripada membeli tiket atau langsung menggunakan koin. Untuk pembayaran menggunakan koin dan tiket sekali jalan, saya ndak begitu ngerti, tapi harusnya sih cara membayarnya hampir sama kayak kita membayar ongkos kendaraan umum.
Ketika hendak naik kereta MRT, kita harus menempelkan kartu ke mesin (saya menggunakan kartu tiket) untuk membuka gerbang dan mencatat lokasi kita. Jika ongkos di kartu tidak mencukupi, gerbang tidak akan terbuka dan akan memberikan peringatan.
Tiket elektronik berbentuk kartu ini menggunakan teknologi contactless smart card yang berbasis pada teknologi frekuensi radio (RF-ID). Kartu sejenis yang menggunakan teknologi ini adalah kartu Flazz BCA untuk pembayaran. Dengan hanya mendekatkan kartu ke mesin, maka data di kartu akan terbaca. Beberapa kali saya melihat orang-orang menempelkan dompet atau tas mereka yang menyimpan kartu ini ke mesin, dan mesin bisa membaca kartu ini tanpa mengeluarkannya.
Ketika kita turun dan keluar dari stasiun, kita juga harus menempelkan kartu ini ke mesin untuk membuka gerbang dan memberi tahu posisi kita sehingga jarak tempuh bisa dihitung dan ongkos langsung dipotong dari uang deposit. Ongkosnya cukup murah, paling mahal sekitar SG$ 2 (rata-rata cuma kurang dari SG$ 1).
Kereta subway MRT bisa dibilang tidak dapat terlihat bentuknya karena jalur-jalur kereta tertutupi oleh pintu-pintu kaca otomatis. Saya melihat berbagai petunjuk, mulai dari peta rute, layar LCD dan dot matrix yang memberikan petunjuk jalur, arah, hingga perkiraan waktu tiba kereta.
Karena bingung hendak ke mana, kami pun melihat ke papan peta rute MRT. Dengan mudah bisa dilihat tempat-tempat yang hendak dituju, terus menggunakan kereta jalur apa, dan transit di stasiun mana. Kami memutuskan untuk ke Merlion Park, landmark Singapura yang terkenal itu. Kami pun memutuskan untuk turun di City Hall (balai kota) dan nanti tanya-tanya orang saja pas disana (dan belakangan saya ketahui, untuk ke Merlion Park harusnya turun di Raffles Place di daerah Downtown Core).
Dari HarbourFront, kami naik kereta jalur North East (NE) Line yang dioperasikan oleh SBS Transit yang menuju Punggol, kemudian berpindah kereta di Dhoby Gaut naik kereta jalur North Shouth Line (dioperasikan oleh SMRT) menuju Marina Bay dan turun di City Hall. Untuk menuju ke City Hall juga bisa dengant transit di Outram Park untuk berganti kereta jalur East West (EW) line yang dioperasikan SMRT.
Di dalam kereta, suasana mirip di film-film. Bedanya, ini di Singapura (ya iya lah)! Sebenernya kalo dibandingkan, suasananya mirip macam di KRL Jabodetabek atau Prameks, cuma yang membedakan adalah budaya penumpang dan kondisi kereta juga stasiunnya.
Orang-orang Singapura itu mau tertib antre, mendahulukan yang keluar dan masuk dengan teratur. Meski ramai dan berdesak-desakan, tapi sangat tertib dan rapi. Bahkan di tengah derap langkah kaki, hampir tidak ada suara manusia. Rame tapi sunyi saya bilang. Umpel-umpelan tapi teratur.
Kami sampai di City Hall. Setelah berkutat di suasana “mall”, ini pertama kalinya saya liat permukaan Singapura. Dengan menggunakan eskalator berjenis “heavy-duty” yang pergeserannya sangat cepat untuk memperlancar perpindahan manusia, kami sampai juga di permukaan.
Berbeda suasana dengan di bawah tanah, suasana di permukaan relatif lebih sepi. Boleh dibilang, kehidupan orang Singapura itu ada di mall, di subway, dan stasiun MRT. Di luar bener-bener lebih sepi. Mungkin karena kami berkunjung pada hari libur, jadi terasa lebih sepi.
Saya langsung terkagum-kagum dengan banyaknya gedung-gedung tua yang bersih, tertata rapi, dan difungsikan. Salah satu gedung yang saya lihat pertama kali adalah gedung Capitol Building yang terletak di ujung perempatan Stamford Rd dan North Bridge Rd.
Di sebelahnya, persis terletak gereja katedral beraliran anglikan St. Andrew yang dibangun pada tahun 1835-1836. Kami berjalan menyusuri Stamford Rd lalu berbelok ke barat daya menyusuri St. Andrew’s Rd sambil melintasi City Hall Park yang berada persis di depan gedung City Hall (balai kota).
Meski jarak dari City Hall ke Merlion Park itu lumayan jauh, namun berjalan kaki sembari memanggul tas punggung rasanya nyaman. Selain karena suasananya yang sepi dari kendaraan (pejalan kaki sangat dihormati di sini, bahkan sepeda pun harus ngalah ama pejalan kaki) pemandangannya pun rapi.
Kami bahkan sempat berhenti dan duduk-duduk sejenak di taman sembari makan cemilan. Taman yang rindang, bersih tanpa sampah, memang nyaman untuk menjadi tempat beristirahat. Sungguh berbeda dengan di Indonesia, melihat taman begini, para pedagang kaki lima pun akan langsung membuka lapak. Dan inilah yang tidak saya temukan di sini, ketika kehausan, susah rasanya cari pedagang teh botol yang mangkal, hehehe.
Capek beristirahat (loh, istirahat kok capek?) kami melanjutkan perjalanan. Kami melewati jembatan tua namun tetap kokoh, Anderson Bridge, yang melintasi Singapore River, yang awalnya dibangun untuk menggantikan Cavenagh Bridge yang sudah overload. Jembatan Anderson ini dibangun pada tahun 1908-1910.
Setelah menandai wilayah dengan pipis (tentunya di toilet umum yang bersih banget) di kawasan Merlion Park, kami langsung tertarik nyobain Singapore River Cruise (yang akhirnya kami sesali karena ongkosnya lumayan mahal dan menguras duit, yaitu SG$ 15!).
Singapore River Cruise adalah salah satu paket wisata yang ditawarkan di sekitar Downtown Core. Dengan mengunakan kapal yang dulu digunakan oleh orang-orang China ketika datang ke Singapura (namanya bamboat) kita akan dibawa berkeliling menyusuri Singapore River yang airnya bersih (beda banget ama kali-kali di daerah perkotaan di Indonesia).
Setiap melewati sebuah obyek wisata yang sebenernya biasa-biasa aja tapi dikemas dengan baik, yang kebanyakan menceritakan sejarah singkat jembatan-jembatan (bener-bener sigkat, cuma nama, tahun pembangunan, jenis jembatan, dan fungsinya pada masa itu) yang melintasi Singapore River yang dijelaskan melalui rekaman CD yang dioperasikan oleh “nakhoda”.
Sangat amat mesin dan miskin interaksi antar manusia. Yang agak menyesakkan, saya mendengar backsound lagu “Rasa Sayange” yang dimainkan secara instrumental sebagai lagu pengiring penjelasan.
Selesai tour jembatan Singapore River Cruise dan capek berputar-putar di sekitar Raffles Park, akhirnya kami memutuskan untuk pergi ke Bugis, daerah yang katanya “Glodok-nya” Singapura, untuk sekedar beli oleh-oleh (padahal saya paling males kalo diminta bawa oleh-oleh!).
Karena malas dengan suasana “mall” di stasiun kereta MRT, kami pun nyobain naik bus kota. Selain pengen ngerasain naik bus kota di Singapura, juga pengen liat keadaan kota Singapura.
Seperti biasa, karena ndak tau naik busa jalur mana, kami pun menuju ke halte bus terdekat dan mencoba membaca peta dan rute. Okey, setelah cukup lama kami memahami peta, akhirnya kami pun sedikit mengerti dan kami naik bus nomor 130 dari halte Opp The Adelphi yang terletak di Coleman St tepat di belakang Gereja Katedral St. Andrew menuju Bugis Station di Victoria St.
Masing-masing bus itu ternyata ndak berhenti di setiap halte yang dilewati. Dan bus-bus ini hanya berhenti di halte yang tela ditentukan, jadi nggak mungkin kita melambaikan tangan untuk nyegat bus kayak nyegat Metromini.
Yang mengagumkan, bus-bus ini datang dan pergi selalu tepat waktu. Di halte terdapat papan display yang menunjukkan perkiraan tibanya bus di halte dalam menit, sehingga kita bisa tau bus nomor 130 (misalnya) akan tiba di halte 3 menit lagi, dan bener saja 3 menit kemudian bus itu datang persis dengan waktu yang terpampang! Ndak ada tuh ceritanya kita udah antre lama tanpa kepastian dan celakanya ternyata bus yang ditunggu tak juga tiba.
Selain papan display, terpampang jelas peta rute, daftar halte yang disinggahi oleh bus dengan nomor jalur tertentu, atau daftar nomor bus lengkap dengan tujuan-tujuannya, juga tabel harga yang penghitungannya mirip dengan penghitungan tarif kereta MRT.
Kalo saya, cara membaca petanya begini, temukan halte tujuan, lalu lihat bus-bus nomor berapa saja yang berhenti di halte tujuan kita tersebut yang melintas di halte tempat kita akan naik. Atau jika sudah tau nomor busnya, tinggal baca rute si bus ini berhenti di halte mana saja. Bisa juga dengan mengurutkan jalur-jalur bus yang dibedakan warnanya itu.
Misalnya ketika kami berada di Orchard Rd. dan hendak balik ke HarbourFront, dari halte Lucky Plaza, ternyata rute ke HarbourFront (bus nomor 143) yang kami cari ndak berhenti di sana, dan kami kudu jalan dulu ke halte Opp Meritus Mandarin yang jaraknya sekitar 300 meter dari halte Lucky Plaza.
Ketika bus datang, penumpang masuk melalui pintu depan dan yang turun melalui pintu tengah. Namun bisa juga kalo ndak rame, bisa turun dari pintu mana saja. Ketika naik, jangan lupa menempelkan STP ke mesin pembaca untuk menandai ongkos naik, dan ketika turun menempelkan kembali di mesin yang terletak di deket pintu.
Namun ketika turun di Bugis Stasion, kami lupa menempelkan STP, dan sepertinya sistem bisa langsung mengenali posisi kami ketika kami masuk stasiun kereta MRT di Bugis Station setelah membeli oleh-oleh untuk menuju Orchard Road.
Suasana di dalam bus cukup nyaman. Bus-bus ini sebagian memiliki ruang khusus untuk pengguna kursi roda yang ditandai dengan tanda tertentu. Tanda kursi roda ini pun akan muncul di display bus yang akan tiba di halte, sehingga para pengguna kursi roda bisa tau bus mana yang akan dinaikinya. Bus ini pun dirancang khusus untuk memudahkan pengguna kursi roda masuk dan keluar bus, dan apabila ada kesulitan, sopir bus akan dengan sigap membantu.
Kami mencoba dua jenis bus. Bus 130 yang kami tumpangi dari halte Opp The Adelphi menuju Bugis Station bentuknya bus biasa, dan ketika naik bus 143 dari halte Opp Meritus Mandarin menuju HarbourFront, bus yang kami tumpangi adalah bus tingkat (double decker).
Meski sama-sama “double decker”, bus umum beda dengan bus tour yang atapnya terbuka, yang untuk naik bus dan ikut tour itu harus membayar SG$ 15 hanya untuk melihat-lihat kota Singapura! Naik bus tingkat begini, mengingatkan saya jaman SD, pernah naik bus tingkat yang dioperasikan DAMRI.
Kami pun duduk di atas, supaya bisa menikmati suasana kota Singapura dengan lebih leluasa. Ketika bus berhenti di halte, orang yang di atas dan akan turun akan memencet suatu tombol di bagian tiang dekat tangga turun, untuk memberi tahu sopir jika ada yang akan turun. Tombol ini sangat berguna ketika penumpang sangat ramai, ketika penumpang di atas sulit turun, maka dengan memencet tombol ini, sopir akan menunggu lebih lama.
Begitulah pengalaman saya selama nyobain sistem transportasi di Singapura. Jika disuruh memilih, saya lebih tertarik untuk menjelajah dengan menggunakan bus kota daripada kereta. Selain saya kurang sreg dengan suasana mall di stasiun-stasiunnya, dengan menggunakan bus kota saya bisa lebih tau jalan dan rute.
Satu lagi yang saya kagumi dari Singapura, mereka mampu mengemas sesuatu yang biasa menjadi hal yang bisa dijual. Perawatan bangunan peninggalan bersejarahnya pun begitu keren. Gedung-gedung tua itu dirawat dan dimanfaatkan, sehingga bisa berdiri berdampingan dengan gedung-gedung pencakar langit.
Kapan ya, Indonesia bisa kayak gini?