Pernah lihat lukisan atau film-film mandarin dengan setting bukit-bukit lancip dengan sungai lebar mengalir di bawahnya? Gambar-gambar di lukisan itu bukan khayalan, bukit-bukit lancip dengan sungai lebar mengalir di bawahnya itu memang nyata dan benar-benar ada.
Guilin, adalah kota di China selatan yang memiliki lansekap cantik itu. Terletak di propinsi Guangxi, Guilin menjadi salah satu kota tujuan wisata dunia. Kota yang konon telah ada sejak zaman dinasti Qin, tahun 214 SM, dan baru “ditemukan” pada tahun 111 SM, memang sejak dulu terkenal. Sungai Li (Li Jiang) yang membelah kota dari utara ke selatan seakan menjadi denyut nadi kota berpenduduk sekitar 1,3 juta jiwa yang terdiri dari berbagai etnis China.
Saya dan Nila mendarat di bandara Liangjiang yang terletak 30 km di sebelah barat pusat kota. Di pintu imigrasi, bayangan tertutupnya China tergambar dengan jelas dari muka-muka dingin petugas imigrasi. Namun begitu lolos dari pintu imigrasi, hawa-hawa dingin berubah drastis. Sapaan “hallo.. hallo..” dari calo-calo taksi atau agen travel menyapa hangat, menghapus rasa lelah setelah 4 jam duduk di bangku pesawat yang berangkat dari Kuala Lumpur jam 6 pagi. Ah, saya telah menginjakkan kaki di China.
Guilin pada saat kami berkunjung, yaitu bulan Juli, sedang panas-panasnya. Namun iklim dunia yang memang sedang berubah, membuat prediksi cuaca di Guilin pun sulit ditebak. Siang panas, sore bisa hujan kemudian tiba-tiba bisa panas lagi.
Transportasi kota yang cukup riuh, namun tidak sampai membuat emosi jiwa semacam di Jakarta. Pengendara sepeda motor bersliweran tanpa helm, bahkan mereka bebas wira-wiri di jalan tol. Pengemudi kendaraan bermotor di Guilin memang terkesan santai, lebih suka mengalah, sehingga seolah-olah tanpa menggunakan helm pun dijamin aman.
Motor skutik dengan tenaga listrik banyak bersliweran. Jumlahnya lebih banyak daripada sepeda motor berbahan bakar bensin. Karena ditenagai listrik, motor tersebut hampir tanpa suara, sehingga bila tak berhati-hati, kita bisa disambar oleh pengendara motor listrik. Saking senyapnya itu motor, seolah-olah mereka naik motor dan meluncur begitu saja.
Bentuk dan merk kendaraannya pun beragam. Lucu-lucu dan unik-unik. Bahkan ada anekdot, kita bisa saja bikin motor dengan merk nama kita sendiri.
Sepeda dan motor bisa dihitung hampir sama banyaknya. Meski ada jalur khusus motor dan sepeda, tak jarang kita liat sepeda dan motor bersliweran di trotoar yang memang lapang.
Menyusuri Zhongshan Road, jalan protokol di Guilin yang paralel dengan Sungai Li, saya melihat berbagai toko berdiri di sampingnya. Jalan ini memang pusat perniagaan. Bau masakan babi langsung menyeruak. Pedagang yang menggunakan sepeda roda tiga berteriak dalam bahasa yang tidak saya mengerti menjajakan dagangan dengan mengawali dengan sapaan khas, “hello.. hello”. Orang-orang nampak santai dan cuek berjalan di trotoar. Ada yang berbaju rapi, bergaun, bahkan bertelanjang dada.
Cewek-cewek menggunakan tank-top, ber-hot-pants, serta mengenakan sepatu high-heels nampak santai berjalan memamerkan tubuh putih mulusnya. Coba kalo di Jakarta, cewek beginian sudah pasti dilecehkan dan bisa-bisa diperkosa.
Pria-pria di sini lebih luar biasa. Berjalan-jalan dengan telanjang dada, atau dengan menggulung baju ke atas memamerkan perut buncitnya, berjalan dengan cuek. Bahkan saya lihat pasangan, si istri berpakaian rapi dan cantik, si suami dengan cuek berjalan-jalan dengan telanjang dada, masuk ke dalam mall. Tak ada yang peduli, selama tidak saling mengganggu.
Bus-bus kota siap membawa kita menuju ke berbagai pelosok kota. Tinggal datang ke halte, tengok nomor bus yang berhenti di halte tersebut beserta rutenya, maka kita pun bisa memutuskan untuk naik bus apa. Sayang tidak semua rute menuliskan aksara latin.
Penduduk Guilin pada umumnya tidak bisa berbahasa Inggris. Hanya orang-orang hostel atau travel agent saja yang biasanya bisa berkomunikasi dengan bahasa Inggris. Bahkan bahasa Inggris dasar macam, “do you speak English?” mereka tidak mengerti. Ketika kami memesan makanan di restoran cepat saji internasional (yang belakangan kami ketahui ternyata produknya tidak halal karena ayam tidak disembelih secara Islami) sama sekali tidak mengerti angka dalam bahasa Inggris.
Soal bahasa ini kami punya cerita lucu. Ketika makan di sebuah warung makan halal (ada 3 warung makan halal di Guilin, salah satunya favorit kami ini karena harga murah dan lokasi yg dekat dengan penginapan) ketika kami minta teh kepada pelayannya, si pelayannya malah memberi garam pada air minum kami!
Bisa dimaklumi, karena mungkin kebijakan China yang tertutup, membuat informasi dari luar sulit diakses. Berbagai produk pun (termasuk produk impor), mulai dari produk makanan hingga buku dituliskan dalam bahasa China, sehingga tak perlu lah menuliskannya dalam bahasa Inggris, maka rakyat pun bisa hidup tentram dan bahagia.
Tujuan wisata utama dari kota ini adalah denyut nadi kota itu sendiri, Sungai Li. Dengan menyusuri sungai Li, kita akan disuguhi pemandangan bukit-bukit karst yang seolah-olah saling bertonjolan satu sama lain.
Ada beberapa paket tur yang bisa dipilih, mulai dari yang murah (naik rakit bambu) hingga ke yang mahal, yaitu naik kapal wisata disertai dengan pemandu. Tour agent yang menawarkan paket wisata ini pun bisa dengan mudah ditemui di berbagai pelosok kota Guilin.
Siang maupun malam, Sungai Li selalu ramai. Selain paket menyusuri Sungai Li hingga ke Yangshuo, kita juga bisa sekadar keliling kota lewat sungai. Two River and Four Lake Tour menjadi paket wisata favorit di malam hari.
Di tengah kota, terdapat 4 danau yang terbentuk dari 2 aliran sungai yang mengalir, yaitu Sungai Li dan Sungai Peach Blossom. Keempat danau yang terbentuk dari pertemuan dua sungai ini adalah Danau Shan, Danau Rong, Danau Gui, dan Danau Mulong. Dengan ikut tur ini, kita akan naik kapal wisata dan melihat beberapa landmark Guilin di malam hari, yaitu Pagoda Kembar Bulan dan Matahari di tengah danau Shan dan pagoda Mulong di pinggir danau Mulong.
Landmark lain yang juga menjadi tujuan wisata favorit turis adalah Elephant Trunk Hill. Disebut demikian karena bukit karst ini bentuknya memang mirip gajah yang sedang menjulurkan belalainya. Jaman dulu hingga sekarang, bukit ini digunakan untuk menyimpan arak khas Guilin ketika menjalani proses fermentasi.
Ruang penyimpanan ini berupa goa yang terletak di bagian “perut gajah”. Pas lewat di depan pintu goa penyimpanan arak, bau khas arak yang menyengat langsung tercium. Ketika saya mengintip ke dalam (karena pintu dikunci), suasana gelap dan setelah memotret dalamnya dengan bantuan lampu blitz, ternyata di dalamnya masih ada ruangan lagi.
Di dalam taman Elephant Trunk Hill, ada juga Museum of Wine. Di museum ini selain dipajang beberapa produk arak khas Guilin, juga menjual berbagai produk arak tersebut. Harganya cukup bervariasi, tergantung kualitas.
Saya sempat bergidik pas melihat sebuah gentong kaca besar, yang berisi ular, janin kuda, dan berbagai rempah yang direndam di dalam wine. Rupanya ini arak unik yang juga berfungsi sebagai obat. Sebelumnya saya sudah begidik melihat “snake wine“, yaitu arak yang berasal dari rendaman kulit ular pas ikut Li River Cruise. Bule-bule aja juga gak doyan, begitu ngeliatnya.
Banyak sekali ruang terbuka hijau di sepanjang kota. Maklum saja, bukit-bukit karst setinggi 100 meter-an yang menonjol di tengah kota menjadi paru-paru kota. Di sepanjang bantaran sungai dibuat trotoar lebar dan bangku-bangku kota sehingga masyarakat bisa beraktivitas di sana, sekadar jalan-jalan sore atau menikmati kicauan burung dan suara tongeret.
Bahkan di jalan Zhongshan, ketika berjalan-jalan menyusuri barisan toko-toko, suara yang terdengar adalah suara tongeret! Mobil-mobil hampir tak bersuara, apalagi klakson. Coba kalo di Jakarta, suara klakson akan terdengar menyalak hampir tiap menit.
Setiap pagi dan sore, terlihat para manula yang sedang berjalan-jalan. Beberapa terlihat main kartu atau main mahyong duduk di bangku taman berteduh di bawah pohon rindang. Para manula beraktivitas di luar semacam berolah raga dan bermain musik agar badan mereka tetap bugar, dan mereka bermain mahyong untuk memelihara ingatan. Coba di sini, para manula hampir tak bisa beraktivitas apa-apa karena terlalu banyak diam di rumah.
Taman-taman kota juga banyak. Memang ada ongkos masuk, namun ketika masuk di dalam, taman ini sangat luas dan banyak hal yang bisa kita lakukan. Kami pun sempat mendatangi beberapa taman yang ada di Guilin, beberapa di antaranya menjadi kawasan wisata komersial. Taman-taman itu adalah Xi Shan Park, Seven Star Scenic Area, Reed Flute Cave Park, Solitary Beauty Peak, Elephant Trunk Hill, dan Yao Shan Park. Sedangkan beberapa tempat yang belum sempat dikunjungi adalah Hei Hill Botanical Garden, Nanxi Park, Guilin National Forrest Park, dan masih banyak lagi.
Guilin adalah kota pariwisata. Setiap tahun, Guilin dikunjungi 15 juta orang. Segala hal bisa dijadikan obyek wisata. Mereka sadar akan potensinya, kemudian mengemas dan membangun infrastruktur pendukung, kemudian menjualnya.
Mereka juga tidak segan-segan untuk memperingatkan para wisatawan tentang hal-hal negatif yang mungkin terjadi, misalnya, ketika di pasar, wisatawan disarankan untuk menawar harga hingga separo, kemudian waspada terhadap uang palsu, dan juga bila disapa oleh orang tak dikenal sebaiknya diabaikan (karena biasanya mereka pemandu lokal abal-abal yang suka menyesatkan wisatawan).
Sebagai wisatawan, saya merasa aman dan well-informed, sehingga bisa waspada akan hal-hal negatif tersebut. Ini yang saya salut, mereka tidak malu bahwa ada hal-hal negatif namun mereka mengatasinya dengan memberikan informasi dan peringatan.
Saya sampai iri. Kapan Indonesia bisa seperti ini?
Website informasi tentang Guilin:
- Visit Guilin – Guilin’s Official Tourism Website: web resmi pariwisata Guilin yang lengkap. Dari website ini saya bisa tau gambaran umum di Guilin, terutama dari sisi akomodasi dan transportasinya. Di Indonesia, ada ndak ya website resmi tujuan wisata yang punya informasi lengkap semacam ini?
- WikiTravel – Guilin: situs Wiki yang berguna sangat. Menampilkan informasi yang hampir detail, membacanya mirip membaca buku Lonely Planet.
Pertamax….
saya jadi pengin kesana
weleh2…
wes tekan cino to sampeyan kang??
sayang mendung yo Kang,
eh tapi saya tertarik jalan2 “cuci mata” di Zhongshan Road 😀
mantabh gan 🙂
keren dab! marahi ngiri pengin kedana wae. 😛
wuih … mantab … jalan-jalannya ke cina! enggak tanggung-tanggung … dalam rangka apa nich *mau tahuu aja :p
ajiiiiiib ke china! ke sana budgetnya berapaan, zam? 😀
Saya penasaran yang Guangming Hill kok bisa ya bentuknya unik. Kalau menurut saya sih itu karena batuan penyusun bukit-bukit kecil-nya itu lebih resisten terhadap erosi, sedangkan yang jadi lembah itu yang telah tererosi. 😀
ajiiiiib…..marai pengen
hadeuuuh mantap pisan..
sudah nyasar2 ke china..
😀
zaaaaam!!! waaa, guilin cantiiiik yaaaaaaa 😀 *mupeng* kamu menelusuri kota sendiri *eh berdua maksutnyah* atau pakai pemandu, zam?
berbekal kitab suci Lonely Planet. pake pemandu pas ikut Li River Cruise aja, karena cuma itu cara yang ngefektif. 😀
wah jadi pengen juga kesana, alamnya indah. bukitnya aneh.khas china :O wawwwwwwwww
Zaaaamm…bikin ngiri ajah…!!! abis budget brp zam??
Kapan ya saya bisa main kesana. wah seneng ini kayanya
ajibb banget ,,
jadi pengen nyoba ke sana.
ko ky’y enak bgt ya gan jlan2 truzzz…bkin org iri jaa hehehe :p
budget’y brp tuh?