Kembali jelajah candi saya lakukan. Biasalah, stres karena siksaan pekerjaan membuat saya ingin lepas sejenak dari rutinitas dengan mengagumi karya cipta budaya manusia masa lampau.
Tapi lama kelamaan kok sepertinya saya terobsesi untuk menjelajah seluruh sebanyak mungkin situs candi, terutama candi-candi yang jarang terekspos mengingat selama ini yang kita kenal hanya Candi Borobudur atau Prambanan saja. Proyek 1000 Candi, kata Bung Annots. :-j
Mungkinkah selama ini saya salah ambil jurusan, ya? Bisa jadi. Tapi ndak juga sih, gelar saya kan S.Si. alias Sarjana Sarkeologi Sains, dan kebudayaan termasuk sains juga, bukan? *maksa* :-”
Kali ini saya bersama Didit mengunjungi Candi Sambisari, candi bercorak Hindu yang terletak 6,5 meter di bawah permukaan tanah.
Candi Sambisari terletak sekitar 10 km sebelah timur Jogja. Cara menuju ke sana, dari Jalan Jogja-Solo menuju ke timur, setelah pertigaan bandara Adi Sucipto dan sebelum gerbang Akademi Angkatan Udara ada jalan kecil menuju ke utara kurang lebih 3 km. Gampang sih, karena ada papan petunjuknya, kok. 😀
Candi Sambisari termasuk candi bercorak Hindu. Terletak di Dusun Sambisari, Desa Purwomartani, Kecamatan Kalasan, Sleman. Ketika sampai, sekilas kita tidak melihat bangunan candi. Jelas karena candi ini terletak di bawah tanah.
Candi ini ditemukan secara tidak sengaja oleh seorang petani ketika menggarap tanah pada tahun 1966. Diduga candi ini tertimbun lahar letusan Gunung Merapi.
Setelah ditemukan, segera dilakukan penggalian (ekskavasi) dan pemugaran. Sekitar tahun 1987 Candi Sambisari selesai dipugar.
Itulah sekilas sejarah penemuan candi ini yang saya ketahui. Berhubung di kompleks tersebut ndak ada pemandunya, lagi-lagi kami cuma bisa menikmati keindahan bangunan candi tesebut.
Candi ini terdiri dari sebuah candi induk yang menghadap ke barat dan 3 buah candi perwara (candi pendamping) di bagian depannya.
Kompleks candi dikelilingi oleh 2 lapisan pagar, yang pertama masih terpendam dan belum sepenuhnya digali. Pagar paling luar ini dapat dilihat pada bekas pengalian di sisi sebelah timur kompleks candi.
Sedangkan pagar kedua terbuat dari batu andesit dan batu putih berukuran sekitar 50 x 48 meter dengan parit mengelilingi di sisi luarnya. Untuk menuju ke pagar kedua ini, kita harus melewati teras selebar 8 meter dengan tangga menurun yang terdapat pada keempat sisinya. Terdapat 4 buah pintu masuk tetapi pada pintu masuk sebelah utara ditutup. Kami pun turun ke kompleks candi melalui pintu sebelah barat.
Di sini kami bertemu dengan 4 orang turis dari Jerman. Saya pun mencoba menyapa dan berbincang-bincang dengan mereka. Saya pun nggedebus sok tau soal candi ini bak guide kepada para turis ini walau English saya mawut, acak kadut, berlogat medok, dan harus dibantu bahasa tarzan. Wis, pokoke sok nggaya dan nekad saja. :))
Sepertinya saya harus ngambil kursus bahasa Inggris kelas conversation, nih.. 😕
Kebetulan para turis ini sedang mengisi masa pensiun mereka dan mengagumi kemegahan candi-candi seperti ini. Sebelumnya, mereka memang sudah mengunjungi Candi Prambanan, Kalasan, Ratu Boko, dan Borobudur.
Bayangkan, orang asing saja mengagumi hasil kebudayaan kita, masak kita sendiri tidak? Saya pun makin bersemangat untuk menulis informasi tentang candi-candi yang ada sejauh pengetahuan dan kemampuan saya. Doakan saja saya sanggup. 😉
Lanjut. Saya pun menuju ke candi induk. Candi induk berukuran 13,65 x 13,65 meter dengan tinggi 7,5 meter. Bagian kaki candi menyatu dengan alas candi, sehingga bagian kaki candi ini bisa dibilang bukan kaki candi yang sebenarnya.
Terdapat sebuah tangga masuk dengan hiasan Makara di kanan kirinya. Terdapat relief manusia berperut buncit seolah-olah menyangga Makara. Di rongga mulut Makara terdapat patung semacam singa tapi kepalanya manusia dengan jenggot panjang.
Di ujung tangga menuju alas candi, terdapat pintu gerbang tanpa hiasan Kala di bagian atas, tapi terdapat hiasan relief Makara di kanan-kiri bawah dan ukiran ornamen di kanan-kirinya. Alas candi dikelilingi oleh Langkan (tembok) dengan ukiran ornamen di sisi luarnya.
Begitu memasuki gerbang, kita pun mendapati badan candi yang berupa ruangan berukuran 5 x 5 meter dengan selasar selebar sekitar 2,5 meter mengelilingi candi. Di selasar ini kami menemukan batu pipih dengan tonjolan di atasnya sebanyak 12 buah, masing-masing 8 buah berbentuk lingkaran dan 4 buah berbentuk persegi.
Pintu masuk ke dalam badan candi dihiasi Kala di bagian atasnya. Di sisi kiri dan kanan candi terdapat relung yang seharusnya terdapat patung penjaga pintu, Mahakala dan Nadiswara, tapi kedua patung ini hilang.
Di dalam ruangan terdapat Lingga yang berada di atas Yoni. Lingga merupakan representasi dari alat kelamin laki-laki dan Yoni merupakan representasi alat kelamin wanita. Lingga ini juga merupakan lambang Siwalingga, khususnya kemaluan Dewa Siwa.
Pada Yoni terdapat semacam cerat yang mengarah ke ke arah utara dan terdapat hiasan berupa patung kepala naga pada bagian bawah Yoni. Entah apa fungsi dari cerat tersebut.
Kami pun keluar dari ruangan dan mengelilingi badan candi. Pada dinding badan candi, terdapat relung-relung yang berisi relief Agastya di sebelah selatan, Ganesha di sebelah timur (belakang), dan Dewi Durga di sebelah utara.
Setelah puas menikmati candi induk, saya pun menuju ke candi perwara. Ukuran candi-candi perwara ini sekitar 5 x 5 meter. Tetapi ternyata dari ketiga candi ini, candi yang tengah ukurannya lebih lebar dari 2 candi lainnya.
Bentuk ketiga candi ini sebenarnya serupa, terdiri atas kaki candi yang dikelilingi pagar Langkan tanpa tubuh dan atap. Tetapi candi pada sisi selatan mengalami kerusakan paling parah bila dibandingkan kedua candi perwara lainnya.
Saya penasaran dengan sejarah candi ini. Saya akhirnya menemukan pencerahan melalui informasi yang tersedia pada ruang informasi.
Menurut arca-arca yang ditemukan, disimpulkan bahwa agama yang melatarbelakangi berdirinya Candi Sambisari adalah Hindu Siwaistis.
Sedangkan tahun dibangunnya candi ini masih belum diketahui secara pasti. Namun jika ditinjau dari arsitektur dan jenis batuan yang digunakan, diperkirakan candi ini didirikan pada abad ke-9 (812 – 838 Masehi). Pendapat ini diperkuat dengan ditemukannya lempengan emas bertuliskan huruf Paleograf yang merupakan tulisan pada awal abad ke-9.
Selain tahun berdirinya yang tidak diketahui secara pasti, raja yang memimpin pembangunan candi juga belum diketahui. Dari prasasti Wanua III tahun 908 tentang raja-raja dinasti Mataram Hindu, raja yang memerintah antara tahun 828 – 846 Masehi adalah Rakai Garung. Tentu saja tidak semua candi dibangun oleh raja yang memerintah saat itu.
Dari Candi Sambisari, kami melanjutkan penjelajahan menuju ke Candi Banyunibo. Hm.. Candi apakah itu? Di manakah lokasinya?
Nah, biar penasaran, tulisan tentang Candi Banyunibo akan saya publish pada postingan selanjutnya. Tentu kalo saya masih ingat detailnya. 😀
Oiya, untuk para ahli dari arkeologi, sejarah, atau purbakala yang membaca postingan ini, mohon koreksinya jika pada postingan ini terdapat kesalahan. 🙂
Foto-foto narsis ada di Multiply saya. 😀
PERTAMAX!
nah.. ini lagi komen sebenere :
mantep dab poto2ne…
btw.. kwe ra trus NYUWIL patung2 trus diwenehke kancamu sing juwalan barang purbakalaa kae sopo? lali jenenge >:)
untuk ke3 kalinya semenjak hari minggu saya bisa HETRIK seperti ini >)
saya tertarik sama lingga yoni nya…. 🙂
candi yg baru ditemukan itu bukan sih?
keren banget !!
Itu kalo di gali terus dapet nya apa ya……
Besok sebagai “gong”-nya postingan, wajib diposting siapakah “roro jonggrang”-nya yang telah memaksa Kisanak Muhammad Bandung Zamroni Bondowoso rela posting 1000 candi. Dan jangan lupa sebagai rasa syukur wajib undang “makan-makan”
ditunggu candi yang lainnya zam
my blue venus!!! manaaaaa…??? :))
seneng ndelok poto2e, huehehe..
mayan kie, lek onok user ku golek tugas sejarah maneh, tak print no blogmu ae yo zam, huikikikii…
Zam!! kamu harus tanggung jawab! Aku loh jadi ikut-ikutan kamu doyan jalan-jalan gini…HUH!!
Eh itu Agastya, seorang pendeta yang digambarin berjenggot panjang dengan perut yang buncit yah…kemarin ku lihat arcanya di museum, tapi ini pendeta aneh juga, di arca yang kutemui ada beberapa penggambaran dia yang sambil nari dan bawa botol minuman mabok gitu, nah loh! Penasaran aku sama cerita si Agastya ini ;)) Cariin po’o infonya ku males nyari hehehe…
Gak heran, Lingga nya bentuknya kaya gitu :))
hahags… jalan2 ke candi mulu.
skali2 ke mol gituh mas ;))
*kabur*
berita duka telah meninggal dunia susiawan wijaya 2-9-2007(i-bebek.net)dimakamkan di jember.demikian harap maklum.
kapan yah bisa jalan-jalan lagi ??
udu sarjana sarkeologi dab tapi sarjana sar………kem :))
penjelajah ulung
kapan ya melu kowe jeng2 begono,,…
asyik kayake..
tahun depan siapkan ?….
weleh ahli candi nih, alih profesi ya?
Wah Zam! bagus!!! gw suka nih beginian, soalnya gw suka beginian…hem…kayanya gw salah jurusan juga nih … heheheh…. gw suka tulisan lo nih zam, cuma .. hehehe… foto objeknya kurang banyak…
eh iya zam, hem, kalo boleh tau, satuan pengukuran yang digunakan oleh pembangun candi itu standarnya apa ya?masa metrik kaya kita juga sih? 😛 nah mungkin bisa lo tulis juga tuh, dan.. sapa tau nanti menghasilkan angka-angka “keramat-ajaib” yang bisa dihubunghubungkan, macam angka-angka punya piramid di mesir ataupun piramid di meksiko/amerika tengah..
..heheh…sotoy juga…
hahaha…gw dari dulu juga pengen jalan2 begini nih (candi, bukan makanan) 😉 .. mangsatab dan salut! semangat zam!
~ngarep…
asyem ik.. wis sarjana to ? wa lulus ndisiki..
jalan2 ngajak2 sih
next posting tentang Candi Baru, ya?
jalan jalan terossssssssssss………….
Beruntunglah masih banyak candiyang rapi di pugar dan jadi warisan anak bangsa dan sekaligus bisa jadi tempat mejeng juga 😀 – ikutan yah nanti… 🙂
Seneng udh bisa mampir kesini lagi, salam kangen dari afrika barat..
Kalo maen ke candi lg ikut dunk…
*kenal we ora* =P~
baru denger ada candi namanya sambisari 😀
alhamdulillah ga ada foto narsisnya lagi 😛
ho…ho… setelah ga berpikir tentang kul, sekarang jengjeng-ny smakin gila yo…. 🙂 ngopo to ko pilih candi??? aku yo pngen melu jengjeng lho zam…., wis ga ditraktir makan2 kelulusan rpp ning diajak jengjeng yo….. 🙂
Wuah..ternyata di jogja..banyak Candi2 yg make namaku ya? :p
Mas Hebat Banget!!!:o:o:o:o
:”>
trims ya.. aku lagi cari ttg cerita rakyat mengenai candi di jawa tengah. tapi belon ketemu.\ please help me blooger.
kirim ke emailku ya…
[email protected]
Sy jadi ingat waktu kecil dulu yg sering main ke candi sambisari dg naik sepeda. Kampung sy emang dkt dgn sambisari sekitar 4 km, yaitu di Ds. Karang Kalasan.
Kondisi c.Sambisari skrg jauh lebih bagus drpd dulu. Dulu, sebelum ada saluran pembuangan air yg bagus, kalo ada hujan yg agak lama maka bangunan c.Sambisari akan tenggelam jadi seperti danau yg tengahnya ada candi. Sehingga kalo mau ke bangunan induk harus naik “getheg” (sampan) yg dikayuh sendiri.
Mungkin itu cerita dulu, tapi mungkin mas Zam malah nggak tahu??
huhuhu……
jadi inget kampung halaman q…
rumah q 500 meter dr candi, waktu cecil dl suka bgt aq lari pagi kesitu, sambil gangguin org2 pd pacaran, hehehe…..
di deket rumah q jg masih bnyk batu candi, mungkin seandainya ada penggalian lagi, beberapa desa disekitarnya masih akan di temukan candi-candi yang laen, tp jangan yach…. tar aku mo tinggal dmn lo rumah q di gusur ma candi….
hehehehe….
salam juga buat penduduk sekitar candi…..
wah, karena infonya mas ini tentang candi sambisari, saya teman saya kemaren udah ke sambisari.
emang bener mas candinya di bawah permukaan tanah. saya sendiri baru kalo ada candi di sekitar kota jogja!
trims
di blitar byk candi yg blm tau namanya. kapan tour-nya dilanjut ke blitar? akomodasi jgn kuatir. aku yg tanggung boss..
apik2… masih byk candi2 di jogja yg blom teridentifikasi,,, gali truuuus
ya Tuhan sungguh indah nya ,,
thanks iya mas atas infonya.