Bandung selatan memiliki potensi wisata yang menarik. Selain Pangalengan, Ciwidey bisa menjadi pilihan berlibur yang cukup dekat dari Jakarta atau Bandung.
Ciwidey yang sebenernya merupakan salah satu kecamatan dari Kabupaten Bandung yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Cianjur ini merupakan daerah perkebunan dan pertanian yang memiliki banyak obyek wisata. Salah duanya yang terkenal adalah Kawah Putih dan Situ Patengan.
Bersama 3 orang rekan lain, saya berkunjung ke Ciwidey, seperti biasa, tanpa rencana. Dari cetusan semalam, saya kemudian berkemas secukupnya, dan berangkat esok paginya dengan cara ngeteng (menggunakan kendaraan umum).
Bagi yang menggunakan kendaraan pribadi, menuju Ciwidey menjadi lebih mudah. Tinggal keluar dari tol Kopo kemudian ikuti jalur ke arah Soreang-Ciwidey.
Dari Jakarta, kami menggunakan bus Primajasa dari Terminal Lebakbulus. Ongkosnya 50 ribu rupiah dengan tujuan akhir Terminal Leuwi Panjang, Bandung.
Dari Leuwi Panjang, kami berganti angkutan dengan menumpang bus Putera Setia jurusan Leuwi Panjang-Ciwidey. Ongkosnya sangat murah, 6 ribu rupiah dengan waktu tempuh 2-3 jam (tergantung kemacetan di jalan raya Kopo).
Selain menggunakan bus Putera Setia, Ciwidey juga bisa ditempuh dengan menggunakan Elf jurusan Leuwi Panjang-Ciwidey atau 2 kali naik angkot (Leuwi Panjang-Soreang, dilanjut Soreang-Ciwidey).
Sesampai di Terminal Cibeureum, Ciwidey, kami menggunakan ojek untuk naik ke atas sembari mencari penginapan. Ongkos ojek ini sekitar 15 ribu, makin pandai menawar, makin murah ongkosnya.
Karena ketidaktahuan plus begitu turun dari bus kami diserbu oleh tukang ojek yang menawarkan jasanya, makanya kami menggunakan ojek. Padahal sebenernya bisa juga menggunakan angkot berwarna kuning jurusan Cibeureum-Situ Patengan dengan ongkos sekitar 3-7 ribu (tergantung jarak).
Oleh tukang ojek, kami direkomendasikan menginap di bungalow dan restoran Kampoeng Strawberry (Jl. Rancabali KM 7, Alam Indah, Ciwidey, Telp. 022-8592 0550). Pertimbangan tukang ojek, penginapan ini jaraknya lebih dekat ke obyek-obyek wisata.
Penginapan lain di sekitar sini adalah penginapan Patuha Resort dan bumi perkemahan Ranca Upas.
Bungalow yang kami sewa merupakan bungalow yang standar. Rate-nya 400 ribu plus ekstra bed dan pajak, totalnya 490 ribu. Biaya ini kami bagi berempat, sehingga per orang membayar Rp 122.500. Bungalow standar ini memiliki air panas.
Jika menyukai yang lebih alami, bisa menginap di bumi perkemahan Ranca Upas atau di wisma PTPN VIII. Daerah di dekat obyek wisata (seputaran daerah Alam Indah) sangat minim penginapan. Penginapan yang agak murah dengan rate 100-200 ribu ada di bawah (seputaran Cibereum-Ciwidey), dengan konsekuensi jarak tempuh yang jauh ke obyek-obyek wisata.
Sepanjang jalan dari terminal hingga Situ Patengan kita dapat menemukan berbagai tempat yang menawarkan wisata memetik sendiri buah strawberry dari kebun. Strawberry yang telah dipetik kemudian ditimbang untuk kemudian dibeli. Kita bisa juga langsung memakan strawberry di kebun.
Setelah cek-in dan meletakkan barang, kami langsung menuju ke Situ Patengan, obyek wisata yang paling jauh. Apalagi kami datang sudah terlalu sore karena terjebak macet.
Ada yang menyebut nama obyek wisata ini dengan “Patengang” atau “Patenggang”, menurut saya ini cuma faktor “kesleo” lidah dalam pengucapan saja. Meski begitu, cukup banyak penduduk lokal mengucapkan “Patenggang” yang berarti “berjarak” (dari kata “tenggang”).
Bila diurutkan, obyek-obyek wisata di daerah ini berada dalam sau garis jalan, yaitu Kawah Putih, pemandian air panas Cimanggu, bumi perkemahan Ranca Upas, kebun teh dan pemandian air panas Ranca Ciwalini, kebun teh PTPN VIII Ranca Bali, dan berakhir di Situ Patengan.
Dari penginapan, kami naik angkot hingga ke Situ Patengan. Ongkosnya 5 ribu rupiah, plus 5 ribu untuk retribusi, semua dibayar oleh sopir angkot. Saya curiga duit retribusi kami dimakan sendiri oleh si sopir angkot, apalagi kami tidak mendapat tiket resmi.
Sopir angkot ini pula yang membuat perjalanan kami jadi kurang menyenangkan. Kalo misal ada banyak sopir angkot macam begini di satu obyek wisata, bisa dipastikan obyek wisata itu akan hancur, karena wisatawan jadi enggan datang. Selengkapnya saya ceritakan nanti.
Situ Patengan adalah sebuah danau seluas 48 hektar yang terbentuk dari sisa-sisa aktivitas vulkanik. Terletak pada ketinggian sekitar 1.600 meter dpl, membuat taman wisata ini sejuk. Apalagi di sekitar danau ditumbuhi tanaman pinus dan kayu putih.
Ada sebuah legenda tentang kemunculan Situ Patengan ini. Konon dulu ada sejoli yang bernama Raden Indrajaya, (berjuluk Ki Santang), keponakan Prabu Siliwangi, dengan Dewi Rengganis yang karena peperangan, mereka berdua harus terpisah. Menangislah mereka hingga air matanya tergenang menjadi danau ini.
Karena kekuatan cinta mereka, kedua sejoli ini bertekad untuk bertemu sehingga mereka saling mencari, yang dalam bahasa Sunda “pateangan-teangan”. Nah, dari kata inilah nama Patengan berasal.
Mereka pun akhirnya bertemu kembali di tempat ini. Tempat bertemunya kedua sejoli ini dinamakan Batu Cinta. Wujud dari batu ini dikabarkan mirip dengan sosok manusia, namun batu ini sangat jarang terlihat karena berada di dalam danau, kecuali ketika air danau surut.
Dewi Rengganis pun meminta kepada Ki Santang untuk dibuatkan perahu untuk digunakan berkeliling danau. Konon pulau yang terletak di tengah danau ini dulunya adalah perahu Ki Santang yang digunakan untuk berkeliling. Ndak heran banyak persewaan perahu yang memang digunakan untuk berkeliling di danau sedalam 3 hingga 4 meter ini.
Pulau di tengah danau tersebut bernama Pulau Sasaka dan lebih dikenal dengan nama Pulau Asmara.
Sewa perahu lumayan mahal, sekitar 50-80 ribu. Atau jika menunggu penuh, dikenai tarif 15 ribu per orang. Namun yang menyebalkan, rata-rata para pemilik perahu memaksa pengunjung untuk menyewa.
Menurut mitos, barang siapa yang mengelilingi Pulau Asmara dan singgah di lokasi seputaran Batu Cinta, maka kisah cinta kedua sejoli ini akan abadi seperti pada kisah cinta Ki Santang dan Dewi Rengganis.
Situ Patengan dulunya bersatatus cagar alam dan taman nasional, namun sejak 1981, Situ Patengan dijadikan sebagai taman wisata.
Di sekeliling danau terdapat beberapa penginapan, toko-toko suvenir, dan warung makan yang nampak berjajar.
Kendaraan umum yang melayani rute ini paling terakhir beroperasi jam 6 sore. Dan inilah awal dari kekesalan kami kepada sopir angkot yang kami tumpangi sebelumnya.
Ketika kami tiba, si bapak menawarkan jasa untuk menunggui dan mengantarkan kami pulang. Tawar-menawar harga pun terjadi, dan disepakati harga sebesar 40 rupiah. Kami menganggap angkot sudah kami carter.
Menyebalkannya, ketika mengantar kami, angkot ini ternyata juga mengangkut penumpang sepanjang jalan! Kurang asem! Merasa tertipu, kami memutuskan untuk membayar ongkos layaknya kami naik angkot dengan tarif biasa.
Ketika kami sampai di penginapan dan membayar ongkos sebesar 20 ribu (untuk 4 orang), si sopir angkot tidak terima. Dia memaksa kami untuk membayar harga 40 ribu. Kok nyimut!!
Bahkan ketika kamu cuekin tu angkot, si sopir mengejar kami dan keributan terjadi. Kami berkeras bahwa itu sopir angkot menyalahi kesepakatan, wong sudah dicarter kok masih mengangkut penumpang. Sopir angkot ngehe itu berkilah, “kalo emang nggak mau ngangkut penumpang lain, bilang, dong”. Ini sopir angkot emang ngeselin.
Akhirnya satpam penginapan datang menengahi kami. Kami menjelaskan duduk persoalan, dan debat masih terjadi. Kami tetep tidak mau membayar ongkos sesuai kesepakatan karena si sopir angkot sejak awal sudah tidak jujur.
Karena capek dan malas berdebat lagi, kami mengancam bahwa kami bisa menulis di media (salah seorang di antara kami memang wartawan sebuah koran nasional) dan membuat lokasi wisata ini sepi, karena ulah penduduknya sendiri. Satpam yang tentunya membela tamu penginapan akhirnya memutuskan kami yang menang. Ya memang seharusnya begitu.
Sumpah asli Ciwidey dingin sekali. Setelah masuk penginapan yang nyaman, kami enggan keluar. Bahkan untuk sekedar mencari makan. Untungnya lokasi penginapan kami terdapat restoran, sehingga kami tidak harus bersusah-susah mencari warung, tinggal ngesot ke depan.
Walau kami kehabisan menu, karena kami datang ke restoran cukup malam, sekitar jam 9, kami cukup beruntung. Suasana yang sunyi tentu menyulitkan menemukan tempat makan lainnya. Mana ada penjual pecel lele kaki lima di tempat ini?
Pagi-pagi kami segera nyegat angkot di depan penginapan. Ndak berbeda dengan angkot semalam, sopir angkot kami yang masih remaja menawarkan jasa menyewakan angkotnya, karena dari gerbang untuk sampai ke kawah masih cukup jauh. Tentu kami menolak dan meminta untuk turun di depan gerbang obyek wisata Kawah Putih.
Setiba di depan gerbang kami dipungut biaya resmi retribusi sebesar 12 ribu per orang. Awalnya kami hendak naik ontang-anting, kendaraan khas obyek wisata ini berupa mobil pickup yang dimodifikasi sedemikian rupa hingga mampu memuat 12 orang, urung karena lagi-lagi kami agak sedikit dipaksa untuk menyewa. Biaya sewa 100 ribu per orang. Cih!
Kalo dihitung-hitung oleh kami berempat, per orang membayar 25 ribu. Padahal seharusnya ontang-anting itu beroperasi layaknya angkot, mengantar penumpang dari gerbang ke kawah dengan biaya yang cukup murah. Tapi lagi-lagi sopir angkot nggak mau rugi. Mungkin karena sepi pengunjung yang menggunakan jasa mereka, karena rata-rata wisatawan di sini menggunakan kendaraan pribadi.
Kami pun memutuskan naik ojek saja. Tukang ojek awalnya memasang harga 25 ribu untuk diantar PP, dan kami menawar 20 ribu. Sebenernya bila kami lebih gigih lagi, kami bisa dapat harga 15 ribu. Tapi ya sudah lah, kami udah malas berurusan dengan mobil, takutnya kejadian “angkot” semalam kembali terulang.
Sekitar 10 menit kami diantar menuju kawah. Walau medannya gak seganas ketika mencapai Kawah Papandayan, Garut, namun jalan yang kami lalui cukup mendebarkan.
Di sekitar kawah, banyak terdapat rambu peringatan untuk tidak berlama-lama di seputar kawah. Kandungan belerangnya yang sangat kuat memang bisa mengganggu kesehatan bila berlama-lama menghirup gasnya. Belum lagi bau belerang yang busuk.
Kawah Putih merupakan salah satu dari dua kawah yang ada di Gunung Patuha. Kawah yang satunya adalah Kawah Saat (kata “saat” berarti “surut” dalam bahasa Sunda). Kedua kawah ini diperkirakan terbentuk pada abad ke-10 atau 12.
Kawah Putih terletak pada ketinggian 2.343 meter dpl sedangkan Kawah Saat terletak pada ketinggian 2.194 meter dpl.
Berawal pada tahun 1837, seorang peneliti botanis Belanda kelahiran Jerman, Dr. Franz Wilhelm Junghuhn, menemukan kawah ini ketika melakukan ekspedisi.
Karena kandungan belerangnya yang sangat tinggi, bahkan burung pun tak ada yang melintas di atas kawah ini, zaman pemerintahan Belanda, sempat dibangun pabrik belerang dengan nama Zwavel Ontgining Kawah Putih di kawasan ini. Pada masa pendudukan Jepang, pabrik ini kemudian diberi nama Kawah Putih Kenzanka Gokoya Ciwidey.
Pada tahun 1987 PT Perhutani (Persero) Unit III Jabar dan Banten mengembangkan kawasan Kawah Putih ini menjadi kawasan obyek wisata.
Keunikan Kawah Putih terletak pada warna air di danau kawahnya. Warna air danau ini dapat berubah warna, kadangkala berwarna hijau apel kebiru-biruan bila siang hari dan cuaca terang, terkadang pula berwarna coklat susu, namun paling sering terlihat airnya berwarna putih disertai kabut asap tebal di atas permukaan kawah. Oleh karena itu kawah tersebut dinamakan Kawah Putih.
Di salah satu sisi tebing, terdapat goa kecil yang “disegel” dengan kayu bertuliskan “jangan mendekat”. Begitu lewat di depan goa ini, bau belerang yang menyengat begitu kuat dapat tercium hebat. Konon ini sisa-sisa pabrik belerang yang ada di sini.
Cerita legenda pun rupanya juga menyelimuti kawasan ini. Konon di sekitar kawah ini terdapat beberapa makam keramat, antara lain makam Eyang Jaga Satru, Eyang Rongga Sadena, Eyang Camat, Eyang Ngabai, Eyang Barabak, Eyang Baskom, dan Eyang Jambrong.
Salah satu puncak Gunung Patuha yaitu Puncak Kapuk, konon merupakan tempat pertemuan para penunggu yang dipimpin oleh Eyang Jaga Satru. Konon, di tempat ini terkadang secara ghaib terlihat sekumpulan domba berbulu putih yang oleh masyarakat sekitar disebut domba lukutan.
Saya menemukan sebuah jalan setapak yang sepi menyusuri salah satu bibir danau. Dugaan saya, jalan setapak ini menuju ke makam yang dikeramatkan ini.
Kami pun tak mau berlama-lama. Selain hari makin siang, orang mulai ramai berdatangan, juga perut udah mual dan mata mulai pedih akibat terlalu lama menghirup bau belerang, kami pun meninggalkan kawah.
Fasilitas di kawasan ini bisa dibilang cukup bagus. Toilet bersih, mushola lumayan, plus banyak penjaja makanan yang bisa menjadi andalan untuk mengganjal perut yang keroncongan.
Salah satu makanan yang layak dicoba adalah Sate Strawberry Coklat. terdiri dari beberapa biji strawberry gemuk yang ditusuk-tusuk kemudian dilumuri coklat beraneka warna dan rasa. Harganya 10 ribu dapat 3 tusuk sate.
Kami kembali ke penginapan dan kemudian check-out. Masalah kembali datang. Karena mengandalkan stiker bertulis VISA, BCA, dan Mandiri Debet yang tertempel di depan ruang resepsionis, kami pun nyantai ketika harus membayar biaya kamar.
Sial! Rupanya saluran telepon hotel bermasalah sehingga pembayaran menggunakan berbagai jenis macam kartu tidak dapat dilakukan. Padahal uang cash kami sudah habis dan hanya cukup untuk ongkos pulang. Walau sudah menguras semua kantong, duit terkumpul masih kurang 400 rebu. Terpaksa saya turun ke bawah naik angkot untuk mencari ATM.
Mampus. Rupanya ATM sangat susah ditemui. Akhirnya saya mampir di Alfamart di daerah deket-deket “kota” Ciwidey yang ada tulisan “TUNAI BCA”-nya. Alhamdulillah! Kami pun bisa check-out!
Pelajaran yang bisa dipetik: bawa uang cash yang cukup banyak bila Anda bepergian ke lokasi pelosok. Segala macam kartu sakti tidak akan berfungsi di daerah macam ini.
mas aku nyuwun kaos NG ne sing wangun kui!
wis terlalu sering ke situ Gan..
kejadian angkot itu sering banget aku alami, pernah aku di Bandung kesasar gak jelas gara-gara mereka oper sana oper sini. gimana mo maju coba pariwisata kita klo begini caranya. lah wong wisatawan domestik aja di gituin, gimana yang mancanegara ya?
Situ Patenggang, jadi Situ Patengan ini kayanya keselo lidahnya wong londo. Orang Sunda yg saya kenal biasa ngomongnya Patenggang.
Kasusnya sama kayak Babi Pangang, makanan Indonesia yg terkenal di Belanda tapi gak ngetop di Indonesia. Mestinya Panggang, tapi mereka susah ngomongnya.
ternyata Bandung ok juga ya
🙂
Wuih, okeh tenan pengalamanmu Kang. Salut deh sama dirimu yang setia mengandalkan angkutan umum.
Apa karena lokasi wisatanya itu udah populer banget ya, jadi semua pada berebut rejeki di lahan basah dengan cara-cara ndak bener kayak tukang angkot itu?
Mung kowe debat nggo bahasa Indonesia toh Kang? Yen dijak silat lidah bahasa Sunda ra isa berkutik kowe. 😀
wah keren banget
fotone kuwi lho…
hooooo, ini kisah beberapa minggu yang lalu itu yah? *eh*
saya paling kesel tuh sama sopir angkot seperti itu. pernah waktu di probolinggo, waktu mau ke bromo kami berempat dipaksa buat nyewa angkot.
angkot ringkih. 300ribu. gile aja.. mending naik elf 25ribu/orang.
btw ancemannya jos juga… ntar kalo ada masalah sama sopir angkot daerah wisata, tak praktekin ah. hehe..
wew,,pengalamannya seru banged,,mulai yg asik liat pemandangan ampe berantemm,,hehe
lumayan bs dijaddin referensi klo ksana biar ga brantem ama tukang angkot lagi,,
*gak jadi ikut karna harus ‘mengabdi’ pada acara ultah institusi*
pertama anjrit kawose ng euy,
kedua liat stroberi jd ngiler oh kayaknya enak sekali mas 😀
kebetulan saya desember kemarin juga baru aja ke kawah putih n tangkuban perahu…ternyata saya lebih parah daripada kalian. angkot dari lembang ke tangkuban sampai kawahnya rp 35 rb/ orang. karcis masuk bayar sendiri. terus dari terminal ciwidey yang ada angkot kuning sampai ke kawah putih pp rp 55 rb/ org. angkotnya bener2 gila duit….sama spt cerita jeng2…ud harga carter masih narik penumpang….bener2 gila….
Situ patengan kala senja keren! Eh apa ini blog kok gak pernah diapdet lagi..? Ck ck ck.. blogger macam apa kamu nak..?
udah pernah kesini, dan emang bagus
ini mesti jeng-jeng palesu… tidak ada celana kuning!
Selalu menarik membaca ceritamu….dan gambar-gambar yang indah
Padahal saya sudah sampai Ciwidey…cuma malah belum pernah ke Kawah Putih…padahal Narp dan teman2nya sering main kesini…:P
wess, sampean jalan-jalan terus yo mas, kapan nih ke tempatku, tapi Bangka panas buanget lho??
itu kawah putih keren banget yo?
kapan kang ke bangka ntar ku kenalin ma si kecil dah hehehehe….
sayah sudah pernah kesanaaaa…..
informasi penting: jangan pernah kesana ketika long weekend & siang hari, karena akan muacceeet banged! kemacetan sudah akan sangat terasa mulai dari pasar Kopo. belum lagi tekstur tanah yg naik turun bisa menyebabkan mobil terkena macet di jalan yg berbukit (kejadian saya, mobil benar2 stuck-diam karena macet di jalanan yg menanjak tajam, secara saat itu juga sdg turun hujan..uapes tenan!)..tapi kalo inget udara dingin & segarnya..saya belum kapok kesana..hehehe
aq blom pernah je…..
tadinya pengen ky mas zam keciwidey naik bus..
tp tmn” yg pengen ngikut segambreng..
akhirnya bawa mobil sendiri deh..
tp ttp seru kok..
mas keren tuh kaos dan clananya,beli dmn???
skalian donk minta rute2nya,klo ada rute dari gunung papandayan menuju pangalengan(rute jalan kaki).
wah seru debatnya dengan supir angkot. mungkin perlu spare waktu buat nongkrong bareng mereka di warung dekat terminal.. kadang efektif buat mengurangi ketegangan saraf ketika nawar, karena udah (agak) kenal.
lama ga mampir, maen ke bandung selatan aja dia..
kena efek longsor ga tuh ya kawah putihnya?
berapa kilo dari bandung ya???
saya jalan2 ke kawah putih, cuma saya kecewanya itu tarif masuk nya yg terbilang mahal serta tidak jelas, tarif di tulisan dengan di karcisnya.
minggu dpn sy ma suami mo k ciwidey,thx y info’y…..
seluruh wisata di sekitar ciwidey pernah saya kunjungi, bahkan sampai berulang-ulang, mulai dari naik angkutan umum, smpai bawa motor & bawa mobil pribadi, mungkin karena memang tempat ini INDAH.
Masalah angkot itulah INDONESIA kawan, seluruh lapisan masyarakat dari rakyat sampai pejabat HAMPIR SEMUA seperti itu, UNTUNG BESAR DENGAN JALAN MERUGIKAN ORANG LAIN.
saya pernah naik bus purwokerto-bandung AC eksekutif, ketika malam hari saya di oper ke bus ekonomi tanpa ada ganti rugi, EDAN GAK???
pernah jam 01.00 pagi di terminal Probolinggo saya dipaksa untuk sewa elf ke bromo, padahal saya bilang besok pagi baru mo ke bromonya,,,
dah gak aneh lagi …..
Indonesia … Indonesia …Indonesia…
buat yg suka berpergian jangan takut sama yg begituan… hadapi & jalani aja,
Salam backpacker dari Putra Bekasi.
Hem yg jalas indah ya lombok, sayang jauh,…
Padahal di situ punya bnyak teman (lumayan nginep gratiz kwkwk)
enak kali ya kalo jd “enterpreneur” libur sekarep dewek so lbh bnyk wktu bwt ngelurusin otak yg kriting ky indomie,..
Ini ceritaku, apa ceritamu (iklan.com)
sungguh indah nya pemandangan itu.
bisa booking villa nya untuk tgl 3 desember,40 org ?
harga permalamnya brapa ya ??
terus muat berapa kamar/org.??
hahahahaa…
gw juga dulu ky gtu ma supir anggkot…wktu itu kali pertama gw k’bdg ngeteng…tp gpp buat pelajaran jaa…hehehee
thanks 4 your information and your story about ciwidey…. next time i would visit there…
misi gan … klo dari cerita agan diitung-itung perorang kena budget brp yah ? seru juga nih klo buat backpacker iseng2 kesana … :-P